Selasa 07 Apr 2015 15:28 WIB

Waduk Jatigede Dibangun pada Daerah Episentrum Gempa

Rep: mj03/ Red: Agus Yulianto
Waduk Jatigede
Foto: indoforum.org
Waduk Jatigede

REPUBLIKA.CO.ID, JATINANGOR – Lokasi pembangunan Waduk Jatigede, berada dalam wilayah pegunungan dengan tektonik aktif. Bukan hanya dibangun di daerah dekat episentrum gempa, di bawah tempat itu ada aktif fault yang melintas di kawasan tersebut.

“Sebetulnya dari tatanan geologi tidak memungkinkan infrastruktur sebesar itu dibangun di situ (Jatigede). Tektoniknya aktif (di tempat tersebut),” kata  Dr Ir Emi Sukiyah MT, dosen di Fakultas Teknik Geologi (FTG) Unpad, Selasa (7/4). Dia bersama Nana Sulaksana, Achmad Sjafrudin, dan Edi Tri Haryanto melakukan penelitian mengenai karakteristik bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk terhadap Waduk Jatigede. Yang mereka teliti adalah pengaruh dari keadaan DAS Cimanuk terhadap tingkat erosi dan pendangkalan di Waduk Jatigede.

Bendungan Jatigede telah direncanakan sejak 46 tahun yang lalu, tepatnya sejak 1967, atau pada zaman Orde Baru. Pada 1982, mulai dilakukan pendataan tanah warga di sekitar proyek bendungan untuk dilakukan proses ganti rugi dengan cara relokasi.

Sayangnya, proses ganti rugi berhenti dan proyek ini mengalami penundaan hingga 45 tahun. Proyek ini baru dilanjutkan kembali pada 1996. Tapi, apakah proyek yang sudah dirancang sejak lama ini sebetulnya aman?

Itulah yang menjadi penelitian dan kajian para akademisi dari Fakultas teknik Geologi (FTG) Universitas Padjadjaran. Dari penelitian yang dilakukan oleh Nana Sulaksana dan kawan-kawannya itu, diketahui bahwa pembuatan waduk Jatigede merupakan sebuah proyek yang beresiko.

“Pembangunan ini banyak kendalanya,” kata Emi. Sebetulnya, ujar dia, dari tatanan geologi tidak memungkinkan infrasturktur sebesar itu dibangun di situ (Jatigede). Tektoniknya aktif (di tempat tersebut). Bukan hanya dekat episentrum gempa, di bawah tempat itu ada aktif fault yang melintas di situ.

Dikatakan Emi, karena jejak tektonik berupa sesar aktif (aktif fault), maka proyek bendungan ini berbahaya. Sesar ini merupakan zona rekahan pada bumi yang mengalami pergeseran-pergeseran. Pergeseran-pergeseran ini, kata dia, yang memengaruhi erosi di DAS Cimanuk yang menuju Jatigede.

Tim ini tertarik meneliti erosi di waduk Jatigede karena melihat tingginya intensitas erosi di daerah hulu sungai. Hasil dari erosi-erosi tersebut, menurut Emi dapat mengganggu kinerja alat-alat yang dipasang di waduk.

“Hal ini juga berhubungan dengan umur waduk. Alih fungsi lahan yang terus berlanjut pun mempengaruhi besaran erosi yang terjadi,” ujarnya.

Menurut Emi, dampak dari erosi ini sudah mulai tampak. Materialnya yang mudah longsor, ditambah daerahnya yang sesar aktif membuat dampaknya bertambah besar. Salah satu contoh dampak yang paling terasa adalah jalan yang menuju ke bendungan hancur dan ambles.

“Dampaknya sudah terlihat. Pernah, jalan yang menuju ke bendungan (Jatigede) hancur. Sekarang jalan tersebut dipindahkan,” lanjut Emi.

Emi menuturkan, tantangan yang paling besar adalah curah hujan yang tidak menentu dan penerimaan hasil penelitian yang hasilnya tidak pas. “Penelitian mengenai erosi, sedimentasi, itu kaitannya dengan curah hujan. Tetapi kadang penelitian itu diterima saat musim kemarau. Jadi, kami menghitung hanya dari rumus, fakta di lapangan pun harus dikompilasi,” keluh Emi.

Selain itu, adanya perbedaan hasil dengan penelitian-penelitian yang dihasilkan pihak lain pun sedikit menyulitkan penelitian yang dilakukannya. Emi berharap, pemerintah bisa lebih transparan ke masyarakat.

Bila pemerintah bisa transparan, masyarakat pun bisa mengantisipasi lebih dini terhadap kemungkinan bencana. “Sosialisasikan bila Waduk Jatigede memang rawan,” katanya. Selain itu, Emi berharap, masyarakat pun bisa ikut memelihara fasilitas yang sudah pemerintah buat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement