Rabu 08 Apr 2015 05:50 WIB

Presiden Jokowi, Ayo Baca

Presiden Jokowi di Great Hall of the People di Beijing.
Foto: AP Photo/Feng Li
Presiden Jokowi di Great Hall of the People di Beijing.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Esthi Maharani

Pemerintahan Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menambah besaran uang muka alias down payment (DP) bagi pejabat negara untuk membeli mobil.

Alasannya, peningkatan harga kendaraan bermotor sudah tak sesuai sehingga besaran tunjangan bagi para pejabat untuk beli mobil pun berubah. Selain itu, peningkatan itu untuk menunjang kelancaran tugas sehari-hari para pejabat.

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) 39/2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara Untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Dikutip dari laman setkab.go.id, disebutkan DP mobil pejabat yang semula Rp 116.650.000 dinaikan menjadi sebesar Rp 210.890.000. Aturan tersebut berlaku sejak 23 Maret 2015.

Pejabat negara pada lembaga negara yakni anggota DPR, anggota DPRD, Hakim Agung Mahkamah Agung, Hakim Mahkamah Konstitusi, anggota BPK, dan anggota Komisi Yudisial.

Mari sedikit berhitung

Ada 560 anggota DPR. Artinya, ada Rp 118.098.400.000 yang dikeluarkan pemerintah untuk DP mobil pejabat. Lalu, 132 anggota DPD (Rp 27.837.480.000); 52 Hakim Agung (Rp 10.966.280.000); 9 Hakim Konstitusi (Rp 1.898.010.000); sembilan anggota BPK (Rp 1.898.010.000); tujuh komisioner Komisi Yudisial (Rp 1.476.230.000).

 

Artinya, total dana yang dikeluarkan pemerintah hanya untuk DP mobil pejabat sebesar Rp 160.465.410.000

Besarnya anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah di tengah kondisi ekonomi yang tak menentu dan serba naik direspon negatif oleh masyarakat. Bisa dibilang ironis, ketika masyarakat sedang dibebankan kenaikan BBM, tarif kereta api, gas elpiji, dan listrik, pemerintah justru memberikan tambahan kemewahan para pejabat.

Yang semakin ironis dan membuat saya tertawa miris adalah ketika Presiden Jokowi sendiri juga memberikan respon negatif terhadap kebijakan yang ditandatanganinya sendiri. Jokowi mengaku tak tahu tentang Perpres tersebut. Ia berkelit dan menyalahkan bawahannya.

"Tidak semua hal itu saya ketahui 100 persen artinya hal seperti itu harusnya di kementerian sudah men-screening apakah berakibat baik dan tidak untuk negara. Coba dicek atas usulan siapa," katanya, Ahad (5/4).

 

Menurut Jokowi, seharusnya ia sebagai presiden tidak perlu dipusingkan dengan konten surat-surat yang masuk padanya, termasuk urusan Perpres. Ia berdalih punya banyak pekerjaan.

"Tiap hari ada segini banyak yang harus saya tanda tangani. Apakah saya harus cek satu per satu? Kalau begitu, nggak usah ada administrator yang lain dong kalau presiden masih ngeceki satu persatu. Berapa lembar perpres atau kepres?" katanya.

Keesokan harinya, Jokowi melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno memastikan mencabut Perpres tersebut. "Presiden sudah perintahkan untuk dicabut," katanya.

Memang, urusan cabut mencabut Perpres bukan hanya dilakukan Jokowi seorang. Presiden SBY pun pernah melakukan hal yang sama. Pada akhir 2013, SBY mencabut Perpres 105/2013 dan Perpres 106/2013 yang intinya para menteri dan pejabat diperbolehkan berobat keluar negeri dan biaya ditanggung negara.

Hanya saja yang membedakan pencabutan Perpres oleh presiden adalah lamanya mereka menjabat sebelum membuat 'keteledoran'. SBY membuat ‘kesalahan’ setelah hampir sembilan tahun menjabat, sedangkan Jokowi baru hampir enam bulan.

Bagi saya, hal tersebut menunjukkan cara kerja, kecermatan, kehati-hatian seorang presiden. Salah satu pekerjaan presiden ya mengecek kebijakan sebelum diputuskan. Entah dengan cara membacanya, bertanya pada yang ahli jika merasa tak mengerti, hingga menunda pengesahan atau bahkan membatalkannya.

Seperti yang diceritakan pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra tentang Presiden Soeharto dengan naskah-naskah dan surat-surat. Ia mengatakan Pak Harto selalu membaca dengan seksama semua yang mau ditandatangani.

Jika ada hal yang tak jelas, Pak Harto tak segan bertanya termasuk padanya yang masih dianggap 'anak kecil'. Ia yakin Pak Harto membaca setiap naskah dan surat yang masuk mejanya karena seringkali naskah-naskah itu direvisi dengan catatan-catatan.

 

"Dari disposisi itu kita tahu bahwa pak Harto memang membaca semua naskah yang disampaikan ke beliau sebelum ditandatangani," tulisnya lewat akun twitter pribadinya.

Begitu pula Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saya jadi teringat percakapan suatu sore di Istana Presiden dengan salah satu staf kepresidenan yang mengurusi naskah-naskah pidato Presiden SBY. Kala itu, ia bercerita hampir semua naskah pidato dan surat-surat yang masuk pada Presiden SBY selalu dibaca kembali, tak jarang ditandai jika ada kesalahan.

Mensesneg, Sudi Silalahi pun sering kali diminta untuk melakukan pengecekan sebelum surat ditandatangani agar tak menabrak aturan lain. Jangan heran jika koreksi naskah bisa dilakukan berulang-ulang sampai sesuai dengan keinginan dan aturan.

Pengoreksian pun tak selalu di Istana Presiden, bisa ketika disela-sela kunjungan kerja, saat santai, bahkan di atas pesawat kepresidenan.

Maka, Jokowi sebagai presiden ketujuh RI, sudah seharusnya bisa belajar dari para pendahulunya. Hal yang paling sederhana adalah membaca surat dan naskah yang disodorkan ke mejanya.

Sangat menakutkan jika seorang Presiden RI tak tahu apa yang ditandatanganinya. Sudah seharusnya Jokowi hati-hati. Sudah enam bulan memerintah, apakah tak juga bisa belajar dari kesalahannya sendiri?

Cukupkanlah kebiasaan menyalahkan orang lain, walaupun itu bawahan sendiri. Bagaimana jika Jokowi cukup memasang cermin dan lihat muka sendiri. Saya pun sepakat dengan nasihat Yusril: "Pak Jokowi juga harusnya cermat, hati-hati dan tidak segan-segan bertanya agar tidak salah teken naskah. Kalau salah teken bisa repot Pak..."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement