REPUBLIKA.CO.ID, CIPUTAT -- Kenaikan harga BBM menyebabkan para supir angkutan umum kebingungan dalam menentukan tarif untuk penumpang. Mereka pun akhirnya menyerahkan tarif tersebut pada kebijaksanaan penumpang.
Sopir angkutan kota nomor 29 arah Parung–Ciputat, Tos, mengaku menaikkan tarif Rp 1.000 saat kenaikan harga BBM yang pertama.
“Yang biasanya Rp 6.000 menjadi Rp 7.000,” kata Tos, Selasa (7/4).
Saat harga BBM turun, Tos menyerahkan tarif yang harus dibayar kepada penumpang. Ada yang membayar Rp 6.000 dan ada yang masih membayar Rp 7.000.
Saat bensin turun, pemilik angkutan meminta sopir menurunkan tarif angkutan. Persoalannya, kata Tos, onderdil mobil tidak turun, malah naik.
Hal senada disampaikan Arif, sopir angkutan jurusan Ciputat-Kebayoran. Menurut dia, penumpang cukup paham atas turun naiknya harga BBM sehingga ketika harga naik, mereka membayar lebih. Memang, masih ada penumpang yang masih berpatok pada tarif lama.
“Pengennya sih tarif dinaikkan untuk menutupi kebutuhan dapur, perawatan mobil, dan setoran ke bos,” kata Arif.
Apalagi, persaiangan di antara sopir juga lumayan ketat. Belakangan muncul unit mobil baru jurusan yang sama. Arif menjelaskan untuk jurusan Ciputat–Kebayoran saja dari 40 unit bertambah lagi.
Padahal, dengan 40 unit saja sudah lebih dari cukup. Belum lagi, keluh dia, ojek motor yang mangkal pun semakin banyak, sehingga menambah persaiangan dengan sopir angkutan kota.
Lain halnya dengan angkutan kota yang terus mengubah tarifnya, bus Ciputat–Senen tidak menaikkan ongkos sama sekali. Dari tarif Rp 8.000 sebelum harga BBM naik, bus ini masih konsisten dengan tarif awal.
“Ya mau gimana lagi, mahasiswa yang demo saja tidak didengar, apalagi kita masyarakat kecil, siapa yang akan menanggapi suara kita,” ujatr Jonpiter, yang sudah 16 tahun menjadi sopir bus Ciputat–Senen.