Kamis 02 Apr 2015 14:34 WIB

Merindukan Pak Natsir, Buya Hamka, dan Pak Sim

HM Subarkah
Foto: Republika/Daan
HM Subarkah

Oleh: Muhammad Subarkah

Wartawan Senior Republika

Pada awal dekade 70-an, di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta, ada pertemuan besar. Hadir sekitar seratus orang untuk mendiskusikan pelarangan dan pemblokiran buku yang oleh rezim Orde Baru dianggap menganut ideologi terlarang atau berbau komunis. Hadir saat itu para sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang dulu bukunya dianggap berbahaya oleh Lekra PKI dan rezim Sukarno.

Perdebatan berlangsung panas mengenai perlu tidaknya buku karya 'sastrawan kiri' diedarkan. Di tengah perdebatan muncul sikap yang tegas, salah satunya dari Buya Hamka. Dia menyatakan tak boleh lagi buku dilarang. Dia mempersilahkan, misalnya buku-buku Pramoedya A Toer, Utay Tatang Sontani, dan sastrawan kiri lainnya diedarkan agar bisa dibaca khalayak secara luas.

Pernyataan Buya Hamka tentu saja membuat terperangah banyak orang. Sebab, publik mahfum betapa dulu buku-bukunya dilarang dan dicaci maki dan dianggap plagiat oleh para sastrawan kiri, termasuk oleh Pramoedya saat jadi penguasa halaman budaya koran Bintang Timur yang berafiliasi kepada PKI.

Sikap Buya Hamka menentang pelarangan buku semakin kentara ketika dia ditanya mengenai soal penahanannya selama 3 tahun akibat kritis kepada rezim Sukarno. Buya menyatakan hidup di penjara tanpa ada pengadilan sewaktu zaman Orde Lama itu merupakan rahmat. Karena, dengan menyepi dia bisa menyelesaikan tafsir Alquran Al Azhar-nya itu.

''Kalau saya hidup bebas di luar penjara, malah saya selalu sibuk. Tafsir itu tak akan bisa diselesaikan,'' katanya.

Kebesaran sikap untuk tetap menjunjung kebebasan berekspresi itu kemudian ditunjukan dalam bentuk nyata oleh Buya Hamka ketika Sukarno wafat. Dia langsung bersedia memimpin shalat jenazah ketika diminta menshalatkan jenazah si 'Bung Besar' itu. Tak ada dendam dan dia menyatakan: Jasa sukarno bagi bangsa ini jauh lebih besar dari kesalahannya. Allah pasti tahu dan memaafkan dia!

Kebesaran hati lainnya dari Buya Hamka adalah ketika menerima dengan tangan terbuka permintaan Pramoedya ketika mengirimkan pesan agar menerima anaknya untuk belajar mengaji. ’’Dia (Hamka) adalah guru yang tepat bagi kamu untuk belajar agama Islam,’’ kata Pramoedya kepada anaknya.

Sikap yang sama juga terjadi pada diri M Natsir kepada Pak Sim (TB Simatupang). Pernah di suatu hari di akhir 1969, keduanya berdebat panas soal kasus pembakaran gereja yang saat itu merebak di berbagai wilayah, seperti Sulawesi, Jawa, dan Aceh. Mereka berdebat di sebuah ruangan.

Wajah Pak Sim sampai merah padam ketika beradu argumentasi. Pak Sim adalah Ketua Persatuan Gereja Indonesia (PGI), sedangkan Pak Natsir saat itu hanya orang biasa namun punya status informal sebagai pemimpin Islam.

Nah, selang beberapa tahun kemudian Pak Sim Wafat. Mendengar Pak Sim wafat, Natsir langsung datang melayat. Dia termasuk tokoh yang pertama takziah kepada Pak Sim. Di situ Natsir menitikkan air mata ketika melihat jenazah tokoh PGI itu.

Natsir mengakui betapa besar jasa Pak Sim yang juga sebagai 'pemikir besar' TNI. Terbayang segala perjuangan dia selama memimpin gerilya di zaman perang kemerdekaan (lihat buku ‘Laporan Dari Banaran’ karya TB Simatupang). Jadi, tak ada goresan dendam atau caci maki meski keduanya pernah berdebat sangat keras.

Tapi apa yang terjadi hari ini? Setelah publik disajikan tayangan 'omongan kotor dan perilaku banal’ para pejabat publik, penghapusan kolom agama di KTP, pencekalan nama Muhammad dan Ali di pintu imigrasi bandara, kini kaum Muslim terperangah ketika ada pemblokiran situs Islam yang dianggap radikal.

Tanpa pemberitahuan, tanpa peringatan, tanpa didahului dialog, dan yang paling penting tanpa pengadilan, situs-situs itu diblokir. Kenangan akan pelarangan buku di zaman Orde Lama dan Orde Baru, kenangan pembredelen pers di awal 1970-an dan 1990-an, berkelebat lagi di depan pelupuk mata. Politik kekuasan jadi panglima, hukum dan hak berekspresi jadi barang loakan seperti pisau tumpul yang hanya tajam ke bawah.

Di manakah keadilan hari ini? Di manakah sikap adil dan lurus yang dulu pernah ditunjukan oleh para pendiri bangsa ini? Di manakah orang seperti Natsir, Buya Hamka, atau TB Simatupang? Kenapa situs paham radikal ideologi lain dibiarkan, padahal mereka juga mengancam serta memaki penguasa, mengancam negara, dan mengajak bentrok warga?

Deradikalisasi yang kini disebarkan janganlah menjadi ajang penyebaran ketakutan. Deradikalisasi pasti butuh partisipasi Muslim Indonesia secara penuh. 'Celaka tiga belas' kalau umat Islam sampai tersakiti dan kemudian mengacuhkannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement