REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang memblokir beberapa situs media Islam yang dinilai menyebarluasakan ajaran kekerasan dalam beragama, menuai banyak respon dari berbagai elemen masyarakat.
Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI) Syuhada Bahri beranggapan penarfsiran terhadap makna radikalisme dalam beragama menurut BNPT tidaklah pada tempatnya. Menurut dia, yang memiliki kewenangan dalam hal tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Jika radikalisme agama menurut penafsiran BNPT maka saya sangat khawatir akan subjektif," ujar Syuhada saat dihubungi Republika Rabu (1/4).
Dia juga menambahkan kalau justifikasi radikalisme terhadap situs Islam menggunakan cara pukul rata dan tanpa ada pemebritahuan terlebih dahulu, maka hal tersebut sengaja menyakiti perasaan umat Islam. "Negeri ini merdeka karena darah dan air matanya umat Islam, yang telah berjuang ikut memerdekakan Indonesia," papar dia.
Pemerintah melalui Kemenkominfo memblokir situs-situs media Islam. Pemblokiran tersebut didasari surat BNPT No.149/K.BNPT/3/2014 kepada Kemenkominfo untuk memblokir situs media Islam yang disinyalir mengajarkan paham radikal.
Awalnya terdapat 19 situs yang akan diblokir, dari jumlah itu kemudian ditambah tiga situs lagi sehingga keseluruhannya berjumlah 22 situs.