REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak berbagai pihak terkait termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk segera melaksanakan investigasi menyeluruh terhadap temuan praktik perbudakan nelayan.
"Investigasi menyeluruh terhadap kasus ((praktik perbudakan terhadap nelayan di perairan Indonesia) ini akan menjadi kunci menjawab sentimen negatif yg dituduhkan ke RI, termasuk tuduhan tidak mendasar Thailand," kata Ketua Umum KNTI M Riza Damanik kepada Antara di Jakarta, Ahad (29/3).
Menurut Riza Damanik, selain KKP, investigasi yang dilakukan juga perlu melibatkan Komnas HAM, pihak imigrasi, Kementerian Luar Negeri, TNI-Polri, hingga kelompok masyarakat.
Pemerintah, ujar dia, juga dapat mengeluarkan notifikasi mengajak masyarakat ASEAN dan dunia internasional memberikan sanksi penutupan akses pasar terhadap perusahaan yang terlibat dalam praktik perbudakan.
"Termasuk membatalkan seluruh sertifikasi produk perikanan yang pernah diterimanya," katanya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti tegas menolak praktik perbudakan Anak Buah Kapal (ABK) pada usaha perikanan di Indonesia dan berkomitmen menindak tegas pelaku-pelaku yang terlibat.
"Pemberantasan praktik illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing adalah fokus pemerintahan kita. Karena dari awal saya menjabat, saya sudah mengatakan bahwa IUU fishing itu adalah kendaraan dari kejahatan lainnya seperti penyelundupan barang termasuk narkoba, serta human trafficking dan perbudakan," kata Susi Pudjiastuti, Sabtu (28/3).
Menteri Susi menyatakan bila Indonesia memberantas IUU fishing, juga berandil dalam memberantas kejahatan-kejahatan tersebut.
Untuk itu, ujar dia, KKP akan terus mengawasi perusahaan-perusahaan yang terindikasi terlibat IUU fishing dan perbudakan dalam usaha perikanan.
Sementara itu, KKP dengan tegas menolak perbudakan modern dalam bentuk eksploitasi tenaga kerja perusahaan sektor kelautan dan perikanan karena merupakan tindakan tergolong dalam kejahatan kemanusiaan.
"KKP menolak perbudakan usaha perikanan di Indonesia," kata Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP Saut Hutagalung di Jakarta, Jumat (27/3).
Saut mengemukakan hal tersebut terkait dengan laporan investigasi dari Kantor Berita Associated Press (AP) terkait dengan kasus perbudakan anak buah kapal (ABK) yang dilakukan kapal-kapal Thailand yang dioperasikan sebuah perusahaan di Benjina, Maluku.
Kapal itu, ujar dia, melakukan penangkapan ikan di wilayah Indonesia untuk perusahaan di Thailand, dan terdapat kekhawatiran bahwa hal tersebut dinilai membuat nama Indonesia menjadi tercemar.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP menegaskan, praktik semacam itu merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat ditoleransi dan jelas merugikan negara.
"Perbudakan bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal martabat manusia yang memiliki kebebasan. Walaupun secara ekonomi tampak menguntungkan, namun sistem perbudakan menyangkal status kemanusiaan tiap orang," jelasnya.