REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasetyono menyatakan, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per Sabtu (28/3) merupakan kebijakan yang terlalu cepat. Selain itu, kebijakan itu akan menyebabkan para pengusaha melakukan moral hazard atau aji mumpung.
Menurutnya, pemerintah harus mengkaji lagi kebijakan perubahan harga BBM yang terlalu cepat. Sistem seperti ini belum bisa diterapkan di Tanah Air karena orang akan meresponsnya dengan inflasi. Kemudian, banyak pengusaha yang mungkin terkaget-kaget atau nakal sehingga ketika harga mengalami kenaikan Rp 500 per liter, mereka menaikkan harga melebihi proporsinya.
“Namun, ketika harga BBM turun, pengusaha tidak mau menurunkannya, kalaupun turun tetapi tidak proporsional. Ini namanya memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan atau moral hazard,” katanya usai ditemui di acara diskusi dengan tema 'Rupiah dan Ketahanan Politik' di Jakarta, Sabtu (28/3).
Menurutnya, praktik seperti itu wajar terjadi di Tanah Air. Apalagi, Indonesia menganut pasar tidak sempurna. Seharusnya pemerintah tidak boleh membiarkan keadaan seperti ini. “Pemerintah harus intervensi,” ujarnya.
Ia mengusulkan pemerintah menaikkan harga BBM setiap enam bulan sekali. Karena, kalau setiap tiga bulan sekali terlalu cepat. Kalau pun penyesuaian harga dilakukan setiap tahun juga terlalu lama. Jika naik setiap satu semester, pemerintah bisa mengalokasikan anggaran subsidi dalam skema Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).
Dia mencontohkan, asumsi harga tertinggi (ceiling price) BBM Rp 7 ribu per liter. Kalau selama kurun waktu enam bulan itu harga minyak mentah naik, pemerintah bisa mengeluarkan subsidi yang telah dianggarkan itu.
“Karena toh subsidi yang dikeluarkan tidak sebesar tahun lalu yang sampai sebesar Rp 270 triliun,” ujarnya. Sebaliknya, jika harga minyak turun, pemerintah bisa mendapatkan sedikit keuntungan.