Kamis 26 Mar 2015 10:23 WIB

Diskriminasi yang Menyudutkan Islam

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Ini sebenarnya masalah yang remeh-temeh. Namun, diakui atau tidak, tindakan ini amat menyakitkan sebagian warga masyarakat, terutama mereka yang beragama Islam.

Pekan lalu, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya dari kantor keimigrasian, tiba-tiba terungkap adanya pencegatan terhadap pemilik nama Muhammad dan Ali. Orang yang memiliki nama-nama itu tak bisa lolos begitu saja di gerbang otomatis Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

Media pun ramai memberitakan. Barulah kemudian ada penjelasan dari Kepala Kantor Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, Sutrisno, bahwa ada sekitar 200 warga negara Indonesia yang dicegah ke luar negeri. Mereka dicegah karena alasan politik, utang terhadap negara, atau tindakan pidana lainnya.

Pencegahan terhadap seseorang untuk bepergian ke luar negeri sejatinya merupakan hal yang lumrah. Semua negara menjalanan kebijakan tersebut terhadap warganya yang sedang menghadapi masalah hukum/politik secara serius.

Menjadi aneh tatkala gerbang otomatis bandara terbesar di tanah air itu selalu mencegat orang yang hendak melintas di situ yang namanya mengandung unsur Muhammad dan Ali. Ini tentu tindakan yang tak bisa dibiarkan. Otoritas bandara telah melakukan tindakan yang sangat diskriminatif terhadap warga yang namanya memiliki dua kata tadi.

Belum lagi faktanya, dua nama itu sangat karib dan identik dengan nama khas pemeluk agama Islam. Dampak lebih lanjut dari tindakan ini, otomatis bisa mendiskreditkan atau menjadi stigma buruk bagi pemeluk agama Islam karena secara terbuka orang akan bisa berpendapat, bahwa sebagian komunitas Islam sedang diawasi. Terbukti, nama-nama Islami itulah yang jadi incaran aparat.

Kalaupun ada nama-nama yang kena cekal, umumkan saja secara terbuka agar masyarakat luas mengetahuinya. Ini akan membuat masyarakat bisa ikut mengawasi orang yang memang sedang terbelit masalah dengan negara tersebut. Dengan keterlibatan masyarakat membantu orang ‘jahat’, tentu membuat tugas aparat lebih ringan.

Kita pernah mendengar nama Noordin M Top dan Dr Azahari --keduanya warga negara Malaysia-- yang menjadi incaran polisi internasional lantaran sosoknya dianggap sebagai teroris dan keterkaitannnya dengan jaringan Alqaidah. Nama Noordin dan Azahari begitu terkenal dan membahana seantero Nusantara.

Foto-foto musuh nomor satu polisi internasional yang diduga ahli merakit bom itu pun disebar media dan terpampang di pelbagai tempat. Azahari tewas didor polisi pada 9 November 2005 di Batu, Malang, Jawa Timur. Adapun Noordin akhirnya juga tewas dalam baku tembak dengan polisi di Surakarta, Jawa Tengah, pada 17 September 2009.

Berkaca dari kejadian itu, akan lebih baik kalau pemerintah menyebutkan nama-nama WNI yang harus dicegah-tangkal untuk bepergian ke luar negeri. Kalaupun tak disebar di tempat umum, cukup nama-nama itu dikantongi para petugas resmi yang memeriksa setiap warga yang akan ke luar negeri.

Andai kata mereka itu baru berstatus tersangka dan pemerintah merasa belum waktunya menyebarkan nama-nama orang yang dicegah tangkal tersebut, maka mestinya nama-nama itu (dengan ciri-ciri fisik lengkap) dicantumkan secara detail di alat elektronik atau komputer bandara yang bekerja untuk memonitor orang yang melintasi pintu tersebut. Dengan demikian, pemilik nama atau mereka yang memiliki ciri-ciri itu saja yang terperiksa di bandara.

Itu pun akan lebih baik jika ada pengumuman di bandara, agar masyarakat luas mengetahui. Pengumuman itu sekaligus juga sebagai bentuk lain dari permohonan maaf bila ada orang yang namanya kebetulan sama sehingga menjadi ‘korban’ dan ikut terperiksa.

Masyarakat kita terbiasa meremehkan hal-hal kecil seperti ini. Mungkin saja mereka tak pernah memikirkan dampak yang akan timbul atas kebijakan ini. Selain membuat repot pemilik nama Muhammad dan Ali, kebijakan tadi juga ikut member cap atau kesan kurang baik terhadap komunitas Islam.

Hal yang membuat saya lebih sulit memahami kebijakan ini adalah, bahwa itu terjadi di Indonesia yang mayoritas warganya beragama Islam. Mestinya pemerintah lebih berhati-hati dan memperhitungkan segala dampak yang bisa timbul.

Kalau itu terjadi di negara lain yang memiliki ketakutan luar biasa terhadap Islam (islamofobia), barangkali tingkat keherananan saya tak sedemikian tinggi. Akan tetapi, ini terjadi di Indonesia, sehingga bagi saya itu merupakan hal yang tak bisa dibiarkan begitu saja.

Tak bisa tidak, kantor keimigrasian harus menjelaskan secara terbuka kebijakannya yang tak cermat dan menyakitkan sebagian umat ini. Pemerintah tak semestinya membiarkan begitu saja keresahan masyarakat yang dilandasi oleh sentimen agama tersebut.

Cap jelek yang terus-menerus terjadi pada satu kelompok agama tertentu akan berakibat tak baik. Sensitivitas pemeluk agama itu akan kian tinggi sehingga lebih mudah untuk tersulut jika muncul hal-hal yang berbau agama dan dirasakan menyudutkan mereka. Kita tentu harus mencegah agar situasi seperti ini tak muncul dan meletup, sekecil apa pun bentuknya.

Bila semua hal yang terkait masalah itu sudah dijelaskan, maka otoritas keimigrasian tak boleh lagi membuat kebijakan yang gegabah seperti itu. Membatasi atau menghambat nama orang tertentu saja tak boleh dilakukan, apalagi diskriminasi ini terkait dengan sentimen keagamaan kelompok mayoritas. Sungguh tak bijak apa yang sudah terjadi saat ini.

Di saat negara menghadapi problem yang mahaberat, hal-hal sepele yang bisa menimbulkan keresahan mestinya bisa dihindari. Itu jika pemerintah lebih bijak dan matang dalam membuat keputusan.

Problema soal penggembosan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan korupsi yang terus marak, rupiah yang terkulai, serta harga-harga yang kian melambung merupakan pekerjaan yang sungguh perlu pemikiran dan kerja keras. Sangat disesalkan kalau ini masih direcoki dengan masalah sepele yang bisa berpotensi mengganggu stabilitas jika eskalasinya kian meninngkat.

Memang sekarang dunia sedang menghadapi kelompok yang dianggap sebagai musuh bersama, yakni ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang sering bertindak keji dalam menghabisi kelompok yang dianggap musuhnya. Namun, jangan gara-gara itu kita justru ikut memperkeruh suasana dalam negeri dengan menyudutkan kelompok agama Islam.     

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement