REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) menilai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia terlambat mengeluarkan perintah untuk melarang produksi dan penghentian peredaran 26 produk injeksi dan cairan yang dihasilkan di line 6 PT Kalbe Farma. Bukti keterlambatan itu yakni dengan adanya konsumen yang menjadi korban jiwa.
Menurut Direktur YPKKI, Marius Widjajarta, produk cairan injeksi yang dihasilkan Kalbe Farma dan kini sudah dilarang produksi maupun peredarannya memang telah melanggar ketentuan cara pembuatan obat yang baik (CPOB).
Ia menyontohkan, pada kasus obat injeksi anestesi buvanest spinal 0,5 persen beberapa waktu lalu yang jelas melanggar proses registrasi. Karena, dari 21 jenis persyaratan CPOB, banyak komponen yang tidak dipatuhi Kalbe. Diantaranya nama dagang, expired, isi, produsen, hingga alamat produksi. Ia bahkan mengaku melihat sendiri pelanggaran CPOB, etiket, dan catch cover di Buvanest Spinal.
“Tidak adanya etiket dan CPOB di produk cairan injeksi ini telah menimbulkan korban jiwa di RS Siloam, Karawaci, Tangerang, Banten karena tertukarnya kemasan ampul Buvanest Spinal dengan Asam Traneksamat,” katanya kepada Republika, di Jakarta, Rabu (25/3).
Untuk itu, pihaknya menyayangkan sikap pemerintah yang lamban dalam menangani masalah larangan produksi dan izin edar pada produk yang tidak memenuhi ketentuan etiket maupun CPOB-nya. Menurutnya, larangan itu dikeluarkan 18 Maret 2015 dan baru diumumkan ke publik tanggal 23 Maret 2015.
“Bahkan, pemerintah mengeluarkan aturan itu juga karena kami yang terus mendesaknya,” katanya.