Selasa 24 Mar 2015 19:15 WIB

Kepergian Slamet Abdul Sjukur Ditangisi Murid

Rep: Andi Nurroni/ Red: Yudha Manggala P Putra
Slamet Abdul Sjukur
Foto: Antara
Slamet Abdul Sjukur

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Maestro musik kontemporer Indonesia, Slamet Abdul Sjukur wafat di Surabaya pada Selasa (24/3). Hingga penghujung usianya, seniman kelahiran 30 Juni 1935 itu setia mengabdikan dirinya sebagai seorang pendidik.

Karir Slamet sebagai dosen ia lewatkan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Merasa tak puas dengan pola pengajaran di lembaga pendidikan formal, ia juga banyak memberikan pengajaran secara privat, serta bergiat di dalam komunitas.

Di Surabaya, Slamet membesarkan perkumpulan bernama Pertemuan Musik Surabaya (PMS). PMS sejatinya merupakan wadah para peminat musik di Surabaya yang ia dirikan pada 1957. Sempat bubar pada 1982, ia menghidupkannya kembali pada 2006.

Sejak saat itu, PMS menjadi wadah anak-anak muda di Surabaya menimba ilmu bermusik. Acara digelar sekali dalam satu bulan, yang diisi dengan pertunjukan musik, diskusi musik, menonton film musikal dan aktivitas lainnya.

Kabar mengejutkan didapat murid-muridnya pada Senin, 9 Maret 2014. Melalui surel, Slamet menyampaikan kabar kepada salah seorang muridnya, Gema Swartyagita, bahwa ia tidak bisa menghadiri pertemuan karena terjatuh di kamarnya.

“Dia mengirim emailnya siang. Dia kabarnya jatuh pagi sekitar jam delapan (08.00) atau sembilan (09.00) di depan kamar mandi. Dia berjuang beberapa jam sendiri, bangkit ke kasur. Baru sore dia ada kerabat datang, langsung masuk UGD,” ujar Gema, dijumpai di rumah duka di Jalan Pringadi, Bubutan, Surabaya.

Sejak menderita polio pada usia tiga tahun, kehidupan Slamet memang tidak pernah lepas dari kruk. Polio telah menyebabkan kaki kirinya lumpuh. Akibat terjatuh 9 Meret itu, Slamet mengalami patah tulang pada pinggul bagian kanan.

Dikisahkan Gema, di RS Graha Amerta, Surbaya, Slamet mendapat perawatan. Dokter menyarankan Slamet harus dioperasi dan mendapat pencangkokan. Pada awalnya Selamet menolak dan memilih menjalani terapi. Namun dengan bujukan keluarga dan murid-muridnya, ia akhirnya menyetujui untuk menjalani operasi.

Untuk membiaya operasi sebesar Rp 150 juta, para muridnya, termasuk Gema, melakukan penggalangan dana melalui media sosial. “Sudah terkumpul Rp 35 juta. Rencananya, hari ini (Selasa) beliau dioeprasi, tapi Tuhan berencana lain,” ujar Gema dengan haru.

Dijumpai di antara para pelayat, Gema tak bisa menyembunyikan rasa dukanya. Pandangannya sayu, bahkan terlihat menangis dalam pelukan sahabat-sahabtnya, Jeanne. Selain Gema, Jenne juga terbilang murid yang sangat dekat dengan Selamet.

“Beliau itu seperti kamus berjalan, tahu apa saja. Cara mengajarnya menyenangkan. Ke setiap murid dia ngajarnya beda-beda. Seolah dia bisa mengukur kemampuan murid-muridnya,” ujar Jeanne.

Menurut Jeanne, Selamet mengajar tidak mementingkan penghasilan. “Latar belakang ekonomi saya tergolong tidak terlalu bagus, tapi dia pernah memersoalkan itu, selama kita mau belajar,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement