Selasa 24 Mar 2015 19:08 WIB

Slamet Abdul Sjukur, Jenius Musik Antikompromi

Rep: Andi Nurroni/ Red: Yudha Manggala P Putra
Slamet Abdul Sjukur
Foto: Antara
Slamet Abdul Sjukur

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Bangsa Indonesia kehilangan seorang komponis besar yang pernah dimilikinya. Slamet Abdul Sjukur, musisi berjuluk pionir musik alternatif Indonesia itu berpulang pada usia 89 tahun, Selasa (24/3) di Surabaya.

Slamet Abdul Sjukur lahir di Surabaya pada 30 Juni 1935. Terserang polio pada usia tiga tahun menyebabkan kaki kirinya lumpuh. Tak ingin banyak diganggu kawan-kawannya di luar rumah, ayahnya yang seorang guru membelikannya piano ketika ia berusia sembilan tahun.

Slamet mengawali pendidikan formalnya di bidang musik di Sekolah Musik Indonesia (SMIND) Jogjakarta (Kini ISI Jogjakarta) pada 1952. Karena bakat dan pergaulannya yang luas, pria yang sepanjang hayatnya menggunakan kruk itu mendapatkan beasiswa pendidikan di Perancis pada 1962.

Kisruh politik di dalam negeri sempat membuatnya bertekad untuk tidak pernah kembali di Indonesia. Setelah 14 tahun di Perancis, pada 1977, Slamet akhirnya luluh juga oleh bujukan mantan gurunya di SMIND, Sumaryo LE. Sumaryo kala itu sudah menjadi pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dengan dukungan gurunya, Slamet mendapat posisi sebagai pengajar di IKJ.

Pulang ke Indonesia, Slamet harus puas menelan kekecewaan. Pendidikan dan alam berpikir yang dia bawa dari Perancis tak banyak yang bisa disampaikan kepada anak didiknya. Karir terbaik Slamet di IKJ adalah menjadi dekan program musik.  Sebelum akhirnya dia diberhentikan pada 1987 karena sikap dan pemikirannya dianggap tidak sejalan dengan penguasa Orde Baru.

Hingga tahun 2000-an, Slamet mengajar di sejumlah perguruan tinggi, di antaranya di Institut Seni Indonesia (ISI)Surakarta  dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Karir Slamet di dua perguruan tinggi itu juga tidak berakhir mulus.

Ia diberhentikan dari ISI Surakarta karena model pengajaran yang dia praktikan dianggap terlalu liberal. Sementara dari UPI Bandung, Slamet mengundurkan diri  karena jengah dengan kurikulum yang tidak mengakomodasi gagasan-gagasannya.

Dalam berkarya, Slamet Abdul Sjukur mengenalkan konsep “Minimax”. Minimax merupakan konsep yang bertolak dari keterbatasan, yang diupayakan secara kreatif untuk mencapai tujuan maksimal. Sebagai contohnya, dalam karya berjudul “Uwek-Uwek”, ia melibatkan musisi amatir dan penggunaan organ mulut sebagai sumber bunyi non-konvensional”.

Begitu juga pada karya “100 ABG BaBu”, konsep Minimax diaplikasikan dengan melibatkan 100 remaja sebagai musisi amatir yang memainkan instrumen kentongan. Di dunia pendidikan, gagasan tersebut memang banyak menabrak pakem-pakem kurikulum sehingga tak jarang Selamet banyak menuai kritik.

Dalam berkarya, Slamet memang dikenal eksperimental. Dia banyak mengeksplorasi alat-alat musik tradisional dalam gubahan musiknya. Beberapa instrumen tradisional yang dia sempat dia gunakan adalah angklung dan gamelan.

Meski sepi apresiasi di dalam negeri, Slamet banyak mendapatkan penghargaan dari luar negeri. Beberapa di antaranya adalah Medali Perunggu pada Festival de Jeux d'Automone di Dijon, Perancis (1974), Golden Record dari Academie Charles Cros, Percanis untuk karya berjudul “Angklung” (1975), Pernghargaan dari   International Kodaly, Budapes, Hungaria (1983) atas prakarsa memasyarakatkan musik kontemporer di Indonesia, serta Millenium Hal of Fame dari American Biographical Institute (1998).

Penghargaan yang dianggap menandari puncak prestasinya adalah anugerah Officer de l'Ordre des Arts et des Lettres (2000). Anugerah tersebut merupakan penghargaan tertinggi dari Pemerintah Perancis di bidang musik dan sastra. Di dalam nergeri, Selamet mendapatkan penghargaan dari Majalah Gatra sebagai Perintis Musik Alternatif (1996).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement