REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penangkapan lima warga Indonesia yang diduga bergabung dengan kelompok radikal ISIS dinilai hanya propaganda aparat semata.
"Polisi bisa saja menangkap orang yang diduga menjadi propagandis dan penyandang dana soal ISIS,” ujar Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, Senin (23/3).
Pengamat kontraterorisme ini menilai, seharusnya polisi harus benar-benar bisa membuktikan alasan penangkapan warga tersebut. Apalagi, lanjutnya, sampai saat ini belum ada regulasi yang bisa dijadikan payung hukum untuk memidanakan para pengikut ISIS itu.
Oleh karena itu, penangkapan sejumlah warga yang dianggap ISIS dan penyandang dana orang-orang yang hendak bergabung dengan ISIS itu terkategori propaganda aparat.
Harits menjelaskan, dari langkah penindakan ini mungkin hanya bisa membuat para propagandis ISIS di Indonesia tiarap sementara. Namun, tambahnya, persoalan ideologi dan keyakinan tidak akan hilang dan mati.
Apalagi, dia mengungkapkan, hanya karena seseorang atau beberapa orang propagandisnya ditangkap.
Menurut Harits, pendekatan kontraideologi dengan cara-cara halus dan elegan harus jadi prioritas utama pemerintah. Ia tidak menyetujui jika menggunakan pendekatan hard power yang lebih dominan dalam menghadapi ISIS di Indonesia.
Menurutnya, hal tersebut akan menyebabkan semakin mengkristalkan militansi para pendukung ISIS di Indonesia.
“Apalagi hard power oleh aparat keamanan di bawah regulasi yang masih tidak jelas dan ambigu,” ungkap Harits.