REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eksploitasi sumber daya alam (SDA) di daerah dan kawasan hutan yang melibatkan kalangan pengusaha kerap merugikan penduduk setempat. Dalam sejumlah kasus, kelompok penduduk yang disebut kalangan masyarakat adat kerap merasa direbut tanahnya tanpa izin dan kesepakatan apapun sebab pengusaha terkait hanya berkomunikasi dengan pemerintah daerah.
Salah satu kasus terjadi di Desa Benua Lawas dan Desa Cantung Kiri Hilir Kecamatan Hampang Kabupaten Kota Baru Provinsi Kalimantan Selatan, berhadapan dengan PT. Jaya Mandiri Sukses (JMS). Masyarakat merasa tanahnya dirampas sejak Agustus 2005 hingga kini.
“Setelah mendapat izin lokasi dari pemerintah, pihak perusahaan langsung melakukan land clearing di lahan perkebunan masyarakat, dalam prosesnya tidak ada proses persetujuan, bahkan sosialisasi pun tidak dilakukan ke masyarakat,” kata Deputi Direktur Sawit Watch Ahmad Surambo, bertutur kepada Republika belum lama ini.
Dalam rentang waktu yang panjang, kata dia, sejumlah pertemuan mediasi telah dibuat misalnya perusahaan menjanjikan untuk melakuakn perbaikan sarana dan prasaran maupun penyerapan tenaga kerja. Selain itu, dijanjikan pula pemberian lahan plasma untuk masyarakat melalui koperasi sesuai dengan peraturan yang ada yakni minimal 20 persen dari areal yang diusahakan.
Namun sampai saat ini janji tersebut belum dipenuhi. Alasan perusahaan, bahwa lahan yang akan diberikan masih berstatus kawasan hutan. Pemerintah Kabupaten pun tidak bisa merekomendasikan calon petani penerima plasma Karena masih tersangkut dengan masalah kawasan tersebut. Anehnya, tutur dia, perusahaan masih dengan aman mengelola dan memanen hasil kebun walaupun berstatus kawasan hutan.
Konflik terus berlanjut dengan dikriminalkannya dua orang masyarakat adat oleh pihak perusahaan. Begitu pula dengan pengurus koperasi. Mereka terindikasi akan dikriminalisasi dengan isu penggelapan dana koperasi. Menurut pengurus koperasi dana tersebut digunakan untuk urusan penuntutan perdata pengingkaran janji perusahaan.
Berdasarkan rangkaian advokasi yang dilakukan, Sawit Watch mencatat PT JMS mulai masuk ke desa tersebut pada 2005 berdasarkan Izin Lokasi yang di keluarkan bupati pada 29 Juli 2005. Kemudian pada 29 Nopember 2006, Bupati mengeluarkan Ijin Usaha Perkebunan (IUP) kepada PT JMS dengan No. 437 tahun 2006 yang berlaku pada areal seluas 6.700 hektar.
Selang tiga tahun kemudian tepatnya pada 12 November 2009, PT JMS melakukan permohonan perpanjangan IUP. Dinas Perkebunan Kotabaru kemudian merespon surat perpanjangan dengan memebrikan perpanjangan namun harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan perpanjangan IUP. Salah satu yang perlu dilengkapi adalah surat pelepasan kawasan hutan.
Kemudian, kata dia, pada tanggal 12 april 2010 Bupati Kotabaru melayangkan surat peringatan kepada PT JMS untuk melengkapai Persyaratan IUP-B nya. Peringatan kedua kembali dilayangkan pemerintah pada 31 agustus 2010.
Sampai saat ini, tutur Rambo, PT JMS telah membuka lahan seluas 2.500 hektar dari izin yang diberikan seluas 6.700 hektar. Kawasan yang mendapat ijin sebagian merupakan kawasan hutan. Namun sebelum mendapatkan izin pelepasan dari kementerian kehutanan perusahaan sudah berani melakukan pembukaan dan penanaman kelapa sawit.
Atas kejadian tersebut, Rambo meminta agar pemerintah dapat bertindak tegas melakukan aksi penyelamatan lingkungan. Jika perlu, satuan tugas khusus di bawah presiden mesti dibentuk agar ia punya kekuatan untuk menindak segala pelanggaran tanpa dihalang-halangi otoritas lain.