REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Swasembada daging yang ditargetkan pemerintah dalam kurun 2-3 tahun ke depan bersifat politis. Sebab, menurut Guru Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Muladno tidak akan terjadi swasembada daging dalam kurun waktu sesingkat itu.
Hal ini, katanya didasarkan pada kondisi peternakan sapi di Indonesia saat ini. Total populasi sapi yang ada saat ini hanya 16 juta ekor, itu pun termasuk sapi impor dan sapi betina.
Menurut pencetus Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) 1111 ini, mayoritas pemilik sapi Indonesia (6,5 juta orang) adalah lulusan SD-SMP. Kondisi saat ini, kepemilikan sapi per peternak hanya dua sampai tiga ekor dengan berbagai keterbatasan seperti akses lemah, pengetahuan teknologi lemah dan masih menggunakan cara tradisional.
“Beternak sapi masih menjadi usaha sambilan dan tidak berpikir bisnis. Jika butuh uang, sapi betina dijual. Namun jika punya uang, sapi betina dipertahankan. Peternak tidak berpikir untung, tetapi hanya berpikir ada uang ketika membutuhkan (dengan menjual sapinya). Yang pasti, mereka sedang dan terpaksa senang beternak karena hanya itu yang bisa dilakukan,” ujarnya.
Untuk mencapai swasembada daging, Prof Muladno menawarkan Kemitraan Mulya 52. Kemitraan yang hanya bisa dilakukan di dalam sistem SPR 1111 ini, memberikan harapan terang bahwa Indonesia akan swasembada daging pada 20-30 tahun ke depan.
“Jika ada yang bilang swasembada daging bisa dicapai dua, tiga atau lima tahun ke depan, menurut saya itu tidak mungkin. Itu hanya jawaban politis saja. Alasannya adalah kualitas ternak kita sangat rendah dan tidak ada sistem yang benar-benar mengatur dan melindungi keberadaan sapi betina,” jelasnya dalam siaran pers yang diterima Republika Online baru-baru ini.