Sabtu 21 Mar 2015 16:42 WIB

Manajemen BPJS Kesehatan Didesak Agar Diaudit

Rep: c 14/ Red: Indah Wulandari
Warga Binaan Sosial menunggu penyerahaan kartu BPJS Kesehatan diPanti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2, Cipayung, Jakarta Timur, Kamis (24/4).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Warga Binaan Sosial menunggu penyerahaan kartu BPJS Kesehatan diPanti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2, Cipayung, Jakarta Timur, Kamis (24/4).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kinerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai tidak optimal sehingga didesak agar diaudit eksternal.

Hal itu didasarkan pada laporan bahwa hingga saat ini, BPJS Kesehatan justru menunggak tagihan hingga lima persen sejak Oktober 2014.

“Undang-undang mengatakan, yang mengawasi internal ada Dewan Pengawas. Yang di luar, Dewan Jaminan Sosial Nasional. Harusnya, pada waktu tagihan sudah mendekati 90 persen, itu sudah lampu merah. Oktober sudah 105 persen, kok diam saja?” ungkap Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta, Sabtu (21/3).

Menurutnya,  kinerja BPJS Kesehatan yang demikian tidak lepas dari lemahnya pengawasan terhadap badan tersebut. Bila mengacu pada peraturan yang ada, lanjut Marius, sebenarnya BPJS Kesehatan diawasi oleh dua pihak sekaligus.

Namun, keduanya justru bersikap permisif terhadap kinerja kontraproduktif BPJS Kesehatan. Malahan, kini hanya fokus untuk menaikkan premi pada penggunanya.

Marius menegaskan, semestinya BPJS Kesehatan berfokus pada perbaikan manajemen. Sebab, menurut Marius, sejak awal manajemen BPJS Kesehatan cenderung mengabaikan aspek tranparansi publik.

Hal ini tampak dari permulaan berdirinya BPJS Kesehatan, sebagai pelaksana program DJSN.

Marius menuturkan, sebelum 1 Januari 2014, pendirian BPJS Kesehatan dimodali dari tiga pihak. Pertama, pemerintah yang memberikan modal kepada DJSN sebesar Rp 2 triliun. Lalu, PT Askes yang kemudian berubah menjadi BPJS Kesehatan. Modal dari PT Askes sebesar Rp 5,6 triliun.

Ada pula dari penjualan anak perusahaan PT Askes sendiri yakni PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia (AJII). AJII dibeli oleh tiga perusahaan milik negara (BUMN), yakni  PT Bank Mandiri, PT Kimia Farma, dan PT Jasindo.

Marius mengamati, kurangnya transparansi publik terkait penjualan aset PT Askes ini.

“Harusnya, pada 1 Januari 2014, pertanggungjawabkan ke publik dulu. Ini uang rakyat. Uang jualan InHealth (dipublikasikan) di media cetak. Terserah orang mau baca atau nggak, yang penting ada auditnya,” ujar Marius.

Marius melanjutkan, meskipun sudah tidak boleh berorientasi mengejar profit, BPJS Kesehatan masih wajib mengelola modal yang ada secara produktif.

Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur tidak menampik bahwa pihaknya kini sedang mengalami mismatch. Yakni, dana yang dikeluarkan untuk realisasi pelayanan kesehatan lebih besar ketimbang dana yang terkumpul.

Kata Fajriadinur, karenanya saat ini sedang ada evaluasi mengenai besaran iuran BPJS Kesehatan.

“Presiden sudah meminta Dewan Jaminan Sosial Nasional, Kemenkes, Kemenkeu, dan BPJS Kesehatan untuk menghitung ulang. Masih dalam proses. Akhir Maret ini, nanti kita duduk bareng,” kata Fajriadinur.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement