REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perlindungan konsumen dalam hal pelayanan kesehatan dinilai belum memadai. Apalagi, tidak seperti negara-negara lain, Indonesia tidak memiliki standard pelayanan kesehatan medis.
Sehingga, pihak terkait masih belum satu suara perihal batas normal pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Hal ini ditegaskan Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta.
Menurut Marius, pihaknya sudah lama mendesak pemerintah untuk membuat standard pelayanan medis nasional (SPMN). Namun, kata Marius, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih tidak menunjukkan itikad baik.
Padahal, sudah ada tim dalam Kemenkes yang bertugas untuk merumuskan SPMN. “Tapi timnya sudah jalan-jalan ke luar negeri. Terakhir, ke Australia. Studi banding cara membuat standar pelayanan medik,” kata Marius Widjajarta saat menjadi pembicara di acara diskusi Polemik di Cikini, Jakarta, Sabtu (21/3).
Anehnya lagi, lanjut Marius, Indonesia justru sudah memiliki pedoman audit medis. Padahal, standar pelayanannya saja belum dirumuskan.
Meskipun pemerintah berdalih bahwa tiap rumah sakit punya standar pelayanan medis yang berbeda-beda, kata Marius, itu tidak bisa menjadi alasan. Sebab, SPMN bisa dibuat sebagai rujukan utama standar pelayanan medis yang sungguh-sungguh melindungi pasien dari tindakan yang semena-mena.
“Saya bilang, bisa (membuat SPMN) tergantung pada tipe rumah sakit. Misalkan, rumah sakit tipe B seluruh Indonesia, harus sama (standar pelayanannya). Tipe C dan seterusnya, tipe A, harus sama. Jadi berjenjang,” ungkap Marius.
Marius menekankan, dari SPMN itulah pemerintah bisa menentukan unit cost, yang menyatakan berapa biaya yang sewajarnya dibutuhkan untuk kasus diagnosa atau pengobatan penyakit tertentu.
Sehingga, pasien bisa mengetahui secara transparan besaran biaya ketika dia dirawat di sebuah rumah sakit. Sebab, orang masuk ke rumah sakit bukan untuk menghambur-hamburkan uang, namun mendapatkan kesembuhan.
“Tahun 1980-2000 WHO (Badan Kesehatan Dunia) mengamati, pelayanan kesehatan sudah berubah. Dari (orientasi) sosial menjadi komersil. Makanya, 191 negara membuat gerakan yang bertujuan agar warganya bukan hanya bisa masuk berobat ke RS, tapi mendapatkan kesembuhan,” ujarnya.