Jumat 20 Mar 2015 00:10 WIB
RUU Pertembakauan

Ini Usulan Dede Yusuf dalam RUU Pertembakauan

Rep: C14/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menjawab pertanyaan wartawan usai menggelar jumpa pers terkait iklan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (4/2). ( Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menjawab pertanyaan wartawan usai menggelar jumpa pers terkait iklan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (4/2). ( Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf menegaskan, RUU Pertembakauan bukan usulan dari komisi tersebut. RUU yang masuk ke dalam salah satu Prolegnas Prioritas ini, ungkap Dede, sebaiknya tidak mengabaikan aspek perlindungan kesehatan masyarakat.

Di saat yang sama, RUU ini juga mesti menjamin kesejahteraan petani tembakau, bukan korporasi semata. “Kami sudah bertemu dengan pegiat-pegiat anti-rokok, pegiat kesehatan, itu sudah paham sekali dampak tembakau. Oleh karena itu, kami tidak pernah mengusulkan RUU Pertembakauan,” kata Dede Yusuf kepada ROL, Kamis (19/3).

Dalam pandangan politikus Partai Demokrat ini, cukai rokok seyogianya dinaikkan. Sebab, besaran cukai saat ini, menurut Dede, masih kecil. Yakni, hanya sekira 30-45 persen dari biaya produksi rokok.

Dede berharap juga pada RUU Pertembakauan akan dimuat klausul-klausul tentang bagaimana memperketat distribusi produk olahan tembakau. Demikian pula dengan memperketat pola penjualan rokok sehingga mencegah anak-anak dari menghisap barang adiktif itu.

Yang tidak kalah penting, tegas Dede, penggunaan cukai mesti diperjelas, untuk apa saja demi meminimalkan dampak buruk bagi kesehatan. Sekaligus memperbesar kesempatan bagi para petani atau pekerja olahan tembakau untuk maju.

Dede juga menyoroti ketimpangan penggunaan tembakau dalam negeri. Menurut Dede, tembakau Indonesia justru kalah saing dengan tembakau impor. Dalam hal ini, Indonesia masih belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

“Yang digunakan di pabrik-pabrik itu, hampir 60 persen tembakau impor. Sehingga kalau kita berbicara pertembakauan, sebenarnya kita melindungi petani-petani tembakau dari luar. Kebanyakan dari Cina dan Amerika,” ungkap dia.

Terkait konvensi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) terkait pembatasan produk olahan tembakau, Dede justru mengkritisinya. Konvensi itu, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), dalam pandangan Dede, mewakili standar ganda negara-negara luar terhadap Indonesia sebagai salah satu negara produsen tembakau terbesar dunia. Adapun hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum bersedia meratifikasi FCTC.

“Amerika sendiri belum meratifikasi FCTC. Jadi jangan ikut-ikutan meratifikasi tanpa paham kedudukannya. Hingga saat ini kita masih mensubsidi petani tembakau Amerika kok,” pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement