REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai tingginya angka anak-anak dan remaja perokok di Indonesia merupakan bukti ketidakhadiran negara dalam mengawasi dan melindungi anak-anak dari bahaya zat nikotin rokok.
Berdasarkan pemaparan Tulus, saat ini ada sekitar 250 ribu anak-anak dan remaja rentan usia 10 – 18 tahun di Indonesia yang menjadi pecandu rokok. Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2010 tercatat presentase perokok dikalangan remaja Indonesia rentan usia 15 – 19 tahun sebesar 38,4 persen laki-laki dan 0,9 persen perempuan.
Menurutnya, secara formal melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 negara terkesan hadir memberikan perlindungan kepada anak-anak dan remaja dari bahaya rokok. Melalui upaya melarang pejualan rokok terhadap anak-anak usia dibawah 18 tahun. Namun, kata dia, peraturan tersebut belum dijalankan dengan efektif.
“Ini artinya seolah-olah melindungi anak-anak, tetapi itu adalah instrumen yang digemari para pelaku industri rokok karena pegawasannya rendah,” ungkap tulus konferensi pers “Negara Tidak Hadir Melindungi Anak” bersama Ikata Dokter Indonesia (IDI) di Jakarta, Rabu (18/3).
Ia juga mengungkapkan bahwa sebelumnya YLKI pernah melakukan survei terhadap efektivitas PP Nomor 109 tahun 2012 itu. Salah satu pertanyaan surveinya yaitu menanyakan kepada penjual rokok apakah mereka tetap menjual rokok kepada anak-anak usia dibawah 18 tahun. Hasilnya banyak penjual yang tetap jual rokok kepada anak-anak usia tersebut.
Kemudian jika dicermati, menurut dia, penjualan rokok elektronik yang kini marak di masyarakat juga menjadi bukti ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi anak-anak dan remaja dari bahaya nikotin. Pasalnya, nikotin cair yang terkandung didalam rokok elektronik sangat berbahaya bahkan dapat membunuh jika diminum langsung.
Tulus mengungkapkan bahwa pihaknya sudah bertemu dengan BPOM, meminta untuk perdaran rokok elektronik dilarang. Namun hingga kini ia mengatakan rokok elektronik masih beredar dengan alasan tidak adanya regulasi yang mengatur peredaran barang tersebut.
“Kalau tidak ada regulasinya ya dibuat dong, karena di negara lain itu sudah terbukti kalau itu meracuni dan akhirnya dilarang,” ujar Tulus.