Rabu 18 Mar 2015 15:19 WIB

Soal Remisi Koruptor, Yasonna Mesti Patuhi Presiden

Rep: c14/ Red: Angga Indrawan
Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna H Laoly mewacanakan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat (PB) bagi narapidana kasus korupsi. Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, pemberian remisi dan PB hendaknya diperketat bagi narapidana kasus korupsi.

Pengamat hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sindung Tjahyadi menilai, dualisme suara di dalam tubuh pemerintahan itu kurang bagus. Lebih lanjut, menurut Sindung, secara normatif wacana yang dilontarkan Menkum HAM semestinya bersesuaian dengan visi Presiden Jokowi. Apalagi, menteri sejatinya ditunjuk oleh Presiden sebagai pembantunya.

"Kalau menteri itu pembantu presiden, mestinya ya mengikuti (arahan Presiden Jokowi). Tugas menteri sebenarnya menerjemahkan kebijakan, sikap, dan putusan yang diambil Presiden. Itu menteri yang tahu bahwa dia pembantu Presiden," tutur Sindung Tjahyadi kepada Republika, Rabu (18/3).

Namun, lanjut Sindung, kondisinya akan berbeda bila kemudian diketahui ada kepentingan lain atau tekanan politik yang melatari pernyataan Menteri Yasonna. Pengaruh itu, jelas Sindung, bisa saja dari kepentingan partai-partai politik, yang merasa perlu narapidana korupsi diberi remisi dan PB.

"Tapi menteri bersikap berbeda dari Presiden, itu tidak elok," kata dia.

Lantaran itu, Sindung menekankan, mekanisme komunikasi di dalam kabinet perlu diperbaiki. Sebab, kalau soal sepenting remisi bagi narapidana korupsi bisa sampai menimbulkan dualisme suara, itu merupakan preseden buruk.

"Saya kira koordinasi Menko dengan Presiden harus bisa lebih ditingkatkan," pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement