REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM menyatakan PP 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi merupakan kemunduran dalam pemberantasan korupsi. "PP 99/2012 justru kemunduran dalam proses pemberantasan korupsi," kata Kasubdit Komunikasi Ditjen Pemasyarakatan Akbar Hadi melalui pesan singkatnya, Selasa (17/3).
Akbar menjelaskan, sebelum diberlakukan PP 99 Tahun 2012 dalam pemberian remisi, pemerintah, dalam hal ini Ditjen PAS mengacu pada PP 28 Tahun 2006. Di mana, aturan lama itu mengatur seorang narapidana dengan tindak pidana tertentu seperti korupsi, teroris, narkoba, dan kejahatan lain yang tergolong kejahatan luar biasa, apabila mendapatkan remisi harus menjalani 1/4 masa pidana terlebih dahulu. Artinya, apabila mereka dipidana 15 tahun maka setelah lima tahun baru bisa memperoleh remisi.
Sedangkan PP 99 Tahun 2012, baru enam bulan sudah bisa diusulkan mendapatkan remisi dengan ketentuan persyaratan admistratif mupun substantif. Anehnya, salah satu persyratan tersebut adalah adanya surat keterangan Justice Collborator (Narapidana bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus) dari penegak hukum yang sudah selesai tugasnya saat mereka melakukan penyidikan, penuntutan atau dakwaan.
Untuk diketahui, PP 99 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pemberian Hak Narapidana merupakan produk hukum mantan menkumham, Amir Syamsuddin dan wakilnya, Denny Indrayana. Di antara aturannya agar narapidana kasus korupsi, teroris, dan narkoba mendapatkan hak seperti remisi, grasi, dan asimilasi adalah mendapatkan rekomendasi dari penegak hukum yang menanganinya seperti KPK dan Kejaksaan Agung. Selain itu, mereka harus mendapatkan "stempel" seorang justice collaborator dari lembaga penegak hukum yang menanganinya tersebut.
PP ini merupakan bentuk perhatian pemerintah dalam memberikan efek jera bagi para narapidana ketiga kasus tersebut. Namun, belakangan aturan itu dipermasalahkan oleh Menkumham saat ini, Yasonna H Laoly. Di mana, ia menganggap PP 99 Tahun 2012 itu sebagai bentuk perlakukuan diskriminatif pemerintah kepada narapidana yang memiliki hak.