REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menilai, organisasi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) memiliki dua propaganda untuk menarik dan merekrut anggotanya.
Pertama untuk kesejahteraan (motif ekonomi). Kedus, kehidupan akhirat yang menurut persepsi mereka, jika ke sana dan mati akan masuk surga.
Jubir BNPT Prof Dr Irfan Idris, MA menjelaskan, lembaganya bergerak cepat untuk menindaklanjuti kasus hilangnya 16 WNI di Turki yang disinyalir bergabung dengan ISIS. Saat ini, BNPT berusaha mendeteksi keberadaan mereka dengan melalui kerja sama dengan pihak-pihak terkait.
"Kami bekerja sama dengan pihak-pihak terkait seperti KJRI di Turki dan Interpol untuk mendeteksi keberadaan 16 WNI itu. Sejauh ini kami belum bisa memastikannya," katanya, Rabu (10/3).
BNPT, kata Irfan, bekerja sama dengan pihak-pihak itu karena tidak bisa langsung menindak mereka. Meski belum bisa dipastikan, Irfan menilai apa yang terjadi dengan 16 WNI ini tidak lepas dari strategi yang digunakan ISIS yang memanfaatkan cara-cara resmi untuk melancarkan aksinya.
"Sebenarnya 16 WNI ini sudah merencanakan semua sejak sebelum berangkat. Mereka menggunakan cara resmi asal paspor dan visa bisa keluar. Nanti setelah di luar negeri, baru mereka melancarkan aksi selanjutnya dan akhirnya tidak kembali lagi ke kelompoknya," imbuh Irfan.
Ia menambahkan, ISIS merupakan organisasi teroris yang paling kaya. Karenanya, mungkin saja 16 WNI itu dijanjikan uang dan fasilitas lengkap. Padahal faktanya justru
mereka tidak akan tenang bila sudah masuk ISIS. Karena mereka adalah organisasi yang menganeksasi dua negara melakukan perampokan dan pembunuhan.
"Pokoknya jangan dibayangkan dapat kenikmatan. Menurut saya masuk ke sana itu berarti bunuh diri. Bayangkan mereka harus taat dengan pimpinan, ada jihad seks untuk pejuang, dan hidup di antara desing peluru," terang Irfan.
Sementara itu, guru besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) yang juga tim ahli BNPT, Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono mengatakan, ideologi ISIS sangat berbahaya. Alasannya, karena mereka lihai menggunakan media internet untuk
melancarkan propaganda serta merekrut para anggota di seluruh dunia. Berbeda dengan cara terorisme dulu yang masuk dengan cara konvensional. "Kini ISIS melakukannya langsung ke individu melalui internet,” kata Sarlito.
Menurutnya, semula pasti tidak ada pikiran dari orang atau pemuda Indonesia untuk hijrah ke negara lain untuk berperang. Tapi setelah melihat internet, mereka berpikiran di sana ada ideologi yang lebih menarik dibanding yang ada di Tanah Air. Padahal penilaian itu tidak tepat.
"Dulu terorisme itu masuk melalui organisasi seperti DI/TII, JI (Jamaah Islamiyah), JAT (Jamaah Ansyarut Tauhid) dan segala macam. Sekarang tidak lewat itu dan bisa perorangan baik itu melalui internet dan bisa dari mulut ke mulut. Jadi mereka membentuk ideologi sendiri terlepas dari organisasi di dunia nyata. Tiba-tiba mereka bisa membunuh orang lain. Jadi ideologi yang tanpa bentuk dan tanpa organisasi ini sangat berbahaya sekali dan harus diwaspadai di Indonesia,” papar Sarlito.