REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Human Right Watch (HRW) menilai perempuan difabel merupakan kelompok yang paling rentan menerima kekerasan berlipat. Hal ini disebabkan masyarakat masih streotype kepada perempuan difabel.
Perempuan dan anak perempuan difabel berisiko mendapatkan kekerasan berbasis gender di rumah, sekolah, lembaga, dan masyarakat pada umumnya. Namun demikian, perempuan dan anak perempuan difabel sering dikeluarkan dari program pencegahan, layanan dukungan, dan akses ke jalur hukum karena pandangan stereotip tentang seksualitas mereka, hambatan fisik dan komunikasi, dan kurangnya bahan dalam bentuk yang dapat diakses.
"Informasi tentang kekerasan berbasis gender harus sampai ke orang-orang yang paling membutuhkannya, terutama perempuan dan anak perempuan difabel," ujar Direktur Hak Difabel, Human Rights Watch, Shantha Rau Barriga, melalui keterangan tertulisnya, Senin (9/3).
Barriga menambahkan perempuan dan anak perempuan difabel terlalu sering menjadi korban kekerasan, namun terlalu sedikit informasi tentang tempat untuk mencari bantuan. Selain itu, banyak difabel yang tidak mendapatkan informasi dan kesempatan belajar tentang seksual mereka sehingga mereka lebih rentan menerima pelecehan.
HRW mencatat hingga kini masih banyak negara yang kerap abai terhadap para warga difabelnya. Beberapa negara seperti Turki, Afrika dan Timur Tengah bahkan juga belum mempunyai perangkat hukum untuk melindungi Difabel. Hal ini merupakan bentuk peminggiran difabel dan pelanggaran hak terhadap difabel.
HRW mendesak semua negara mengangkat derajat warga difabel. Keterbatasan mereka bukanlah penghambat jika aksesibilitas dan segala hak atas hidup mereka di penuhi oleh negara.