Jumat 06 Mar 2015 13:11 WIB

Kemendagri Gagal Total Jadi Mediator Ahok Vs DPRD

Rep: C26/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi bersama Gubernur Ahok.
Foto: Antara
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi bersama Gubernur Ahok.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Komunikasi dan Pengamat Politik Indonesia, Tjipta Lesmana, menilai Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) gagal menjadi mediator pertemuan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dengan Anggota DPRD, Kamis (5/3) kemarin. Pertemuan yang dijadwalkan Kemendagri tersebut sebagai mediasi mengatasi polemik 'dana siluman' RAPBD ibukota Indonesia itu.

"Dari sisi komunikasinya, Kemendagri sudah gagal total," ujar pria yang meraih gelar doktor di bidang komunikasi dari Universitas Indonesia itu kepada ROL, Jumat (6/3).

Sebagai mediator, seharusnya sebagai penengah, Kemendagri harus berfungsi seperti wasit dalam pertandingan. Sekjen Kemendagri, Yuswandi A Temenggung, sebagai perwakilan mediator harus mempersilahkan kedua pihak memberikan klarifikasi masing-masing sebebas-bebasnya.

Disaat salah satu pihak memberikan keterangan, pihak yang lain tidak boleh menyela. Contohnya, saat Ahok membeberkan bukti dana siluman RAPBD, anggota DPRD yang hadir tidak boleh menyela atau bahkan menolak paparan Mantan Bupati Belitung Timur itu.

Hal itu juga berlaku sebaliknya pada klarifikasi anggota DPRD. Jikalau itu terjadi, Kemendagri sebagai pihak ketiga harus mengambil sikap tegas seperti jika dalam pertandingan wasit akan memberikan kartu kuning bagi yang melanggar. Namun, pada kenyataannya kegaduhan mediasi itupun akhirnya ricuh dan berakhir tanpa kesepakatan.

Pertemuan tiga lembaga pemerintahan tersebut akhirnya ricuh dan berakhir tanpa kesepakatan. Pasalnya menurut Tjipta masing-masing pihak sudah terlanjur emosi sebelum memulai.

Suasana panas sudah terjadi di luar ruangan mediasi. Akhirnya yang terjadi adalah communication breakdown atau kegagalan komunikasi. Para perwakilan rakyat tersebut justru saling adu argumen di tengah mediasi.

Perkara ini bermula sejak Ahok menemukan perbedaan dana RAPBD versi DPRD dengan versi pemprov sebesar Rp 12,1 triliun. Polemik ini semakin melebar saat kedua pihak merasa benar. Ahok akhirnya melapor ke KPK sementara DPRD memutuskan untuk menggunakan hak angket sebagai bentuk perlawanan karena merasa difitnah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement