REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan warga Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, berharap Presiden Joko Widodo sebelum meresmikan PLTU Pangkalan Susu, turun tangan menyelesaikan pemotongan 40 persen hak ganti rugi tanah yang terkena proyek tersebut.
"Masyarakat pemilik tanah meminta kepada Presiden Jokowi agar sebelum meresmikan proyek PLTU Pangkalan Susu pada tahun 2015 terlebih dahulu melakukan klarifikasi tentang kisruh pemotongan 40 persen hak ganti rugi milik masyarakat Kabupaten Langkat dengan Dirut PT PLN Persero, Menteri BUMN, Menteri ESDM dan Mendagri," ujar Koordinator dan Pemilik Lahan Ganti Rugi PLTU Pangkalan Susu, Ir. Suhaimi Akbar saat ditemui di Jakarta, Kamis (5/3).
Suhaimi menyebut pemotongan itu bertentangan dengan Undang-Undang No.2/2015 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain itu, Suhaimin menyebut sejak 2011 pemotongan 40 persen itu dilakukan oleh pihak ketiga yang mengatasnamakan Lembaga Bantuan Hukum Nasional (LBHN) yang berpusat di Jakarta.
Kasus pemotongan ganti rugi sebesar 40 persen itu sebelumnya telah dipaparkan pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Kabupaten Langkat pada 24 Desember 2013, RDP dengan DPRD Provinsi Sumatera Utara pada Desember 2014 dan terakhir RDP dengan Komisi III DPR RI pada Januari 2015.
Namun hingga kini belum ada pemenuhan ganti rugi hak-hak pemilikan tanah sesuai UU No.2/2015 tersebut meski warga juga telah melaporkan kasus itu secara langsung kepada Mendagri Tjahyo Kumulo pada Januari 2015 di Jakarta.
Suhaimi juga mengharapkan agar Dirut PT. PLN (Persero) dapat segera memenuhi surat undangan Komnas HAM RI-Nomor 3.467/K/PMT/XII/2014 tanggal 5 Desember 2014 tentang Pengaduan Hak Atas Kesejahteraan guna memberikan tanggapan sesuai nomor agenda pengaduan 91.911 dari masyarakat pemilik tanah.
"Kami masih menunggu keseriusan dari pihak pemerintah yakni penegak hukum dan Komnas HAM serta Komisi III DPR RI untuk menyelesaikan kasus ini secepatnya sesuai konstitusi demi kepastian hukum dan keadilan," katanya.
Menurut Suhaimi ada 1.200 warga yang tanahnya terkena proyek PLTU dan hingga ini masih mengeluhkan adanya pemotongan ganti rugi yang bervariasi besarnya mulai dari 30 persen, 40 persen dan ada yang tidak dipotong sama sekali atas pembayaran ganti rugi tanahnya.
"Hal (pemotongan) ini menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum," ujarnya.