REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Professor Emeritus bidang Studi Maritim dari King's College London, Geoffrey Till, mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia terkait visi pembentukan poros maritim dunia. Salah satunya adalah dengan adanya konsep Presiden Cina, Xi Jinping, tentang pembentukan Jalur Sutra Maritim (MSR) Abad ke-21.
Meski masih ada perdebatan soal makna dari gagasan yang diutarakan Xi Jinping itu, namun rencana Cina itu telah membuat negara-negara di kawasan Asia dan di wilayah sekitar Samudra Hindia merespon gagasan tersebut. Terutama untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara-negara tersebut di daerah maritim mereka dan mengantisipasi pertumbuhan kepentingan strategis seiring dengan gagasan Cina tersebut.
Alhasil, lanjut Till, negara-negara di Asia lebih banyak menghabiskan dana untuk membangun angkatan lautnya ketimbang dengan yang dilakukan negara-negara di Eropa. Ini merupakan hal yang pertama terjadi dalam 400 tahun terakhir.
''Angkatan Laut di negara-negara Asia menginginkan OPV, kapal Corvette, dan kapal frigate yang lebih besar dan lebih baik. Mereka juga membeli kapal selam dan berinvestasi dalam rudal antikapal, teknologi ASW, dan sistem pengamatan maritim,'' kata Till dalam paparannya kala bertemu dengan wartawan di Jakarta, Rabu (4/3).
Lebih lanjut, Till menjelaskan, tidak tertutup kemungkinan adanya persaingan-persaingan dan ketegangan yang cenderung kian meningkat di wilayah-wilayah perairan tersebut. Sengketa Laut Cina Selatan (LTS) antara Tiongkok, Vietnam, dan Filipina, serta ketegangan yang terjadi di Laut Cina Timur (LTT) antara Cina dan Jepang seolah menjadi pertanda meningkatnya persaingan tersebut.
Belum lagi dengan adanya perkembangan pemulihan kepentingan Amerika Serikat ke wilayah Asia-Pasifik. Till bahkan menyebut, beberapa pengamat melihat adanya prospek semacam persaingan senjata Angkatan Laut di wilayah-wilayah tersebut.
Kondisi-kondisi ini, kata Till, harus bisa disikapi oleh Indonesia terkait visi 'poros maritim dunia'. ''Isu-isu besar ini akan menentukan konteks soal, bagaimana para perencana kebijakan Angkatan Laut Indonesia harus mengambil sikap dan beroperasi. Selain itu, hal-hal itu juga menjadi patokan untuk perkembangan visi Presiden Jokowi (Joko Widodo) dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia,'' ungkapnya.
Selain itu, Indonesia juga diharapkan untuk bisa menemukan keseimbangan dalam jenis modernisasi alutsista pengamanan laut dan rencana pembelian alutsista. Di satu sisi, Indonesia mesti bisa mengikuti perkembangan teknologi pertahanan kemaritiman terkini yang menyangkut pertahanan negara.
Sementara di sisi lain, Indonesia juga dituntut untuk bisa memperbarui teknologi-teknologi yang lebih rendah. ''Seperti sistem pengamatan, kendaraan patroli pantai, dan kapal pendukung multiguna yang masih menjadi kebutuhan mendesak keamanan maritim dalam negeri,'' ujar Till, yang juga menjabat sebagai Kepala Corbett Center untuk Studi Kebijakan Maritim tersebut.