REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggagas dan Ketua Gerakan Nasional Anti-Miras, Fahira Fahmi Idris mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ia usulkan, saat ini, untuk mengatur minuman beralkohol dan bukan penghapusan total.
"Memang awalnya betul-betul penghapusan, tapi kita tahu sendiri kalau untuk langsung penghapusan mungkin sulit. Jadi, saya melihatnya ada kebijakan lain yang bisa ketemu di tengah akhirnya. Karena kalau sama sekali tidak disetujui akhirnya kita tidak punya UU sama sekali," kata Fahira kepada Republika, Senin (2/3).
Fahira mengatakan, idealnya, usulan tersebut memang bertujuan untuk menghapus semua minuman beralkohol. Namun, lanjutnya, adanya pertimbangan terhadap pihak-pihak terkait, tidak memungkinkan usulan tersebut diteruskan.
"Tapi ini kan terkait publik yang sudah ada, tenaga kerja yang sudah ada, jadi arahnya seperti itu. Walaupun idealnya penghapusan sama sekali tapi saya yakin, kita kan bisa melakukan ini dengan cara bertahap," ujarnya.
Menurut Fahira, pemerintah Indonesia harus mencontoh negara lain terkait pengaturan minuman beralkohol. Ia mencontohkan, pembelian minuman alkohol di Amerika Serikat yang harus menggunakan kartu identitas.
Sedangkan di Inggris, lanjutnya, pembeli yang membeli minuman alkohol tidak diperbolehkan untuk minum di halaman toko tersebut. "Sedangkan di Indonesia, anak-anak beli alkohol minumnya di pelataran toko, meja kursinya ada, waktunya 24 jam. Jadi malah difasilitasi untuk mabuk," kata Fahira.
Ia menambahkan, sembari menunggu RUU minuman beralkohol tersebut dibahas, pihaknya juga telah mendorong kepala daerah di Indonesia untuk menyegerakan Perda miras atau anti miras.
"Saya sudah mengirim surat pada 530 kepala daerah kabupaten-kota di seluruh Indonesia untuk menyegerakan pembuatan Perda miras atau anti miras," ujarnya.