REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR menyatakan keheranannya dengan hasil perhitungan Rasio Elektrifikasi (RE) atau total daerah yang teraliri listrik di Indonesia. Pemerintah menyebut bahwa RE Indonesia mencapai 80 persen. Artinya, 80 persen daerah di Indonesia sudah teraliri listrik dengan lancar. Namun, Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya Wira Yudha meragukan skor tersebut.
Berdasarkan hasil kunjungan kerja ke sejumlah daerah di Indonesia, Satya memperkirakan daerah di Indonesia yang masih gelap masih jauh di atas 20 persen.
"Pemerintah selalu menggemborkan RE rasio. PLN bilang paling tidak 80 persen. Tapi, ketika kami pergi ada wilayah yang belum ada listrik. Saya kunjungan ke NTB itu RE terbilang rendah kalau bicara nasional," jelas Satya, Ahad (1/3).
Bahkan, Satya menambahkan, masih banyak daerah yang bergantung dengan pembangkit listrik tenaga diesel. Hal itu menyebabkan harga listrik semakin mahal. Bahkan, Satya sempat menceritakan pengalamannya, saat menginap di hotel wilayah NTB, 4 kali dia mendapati listrik padam.
"Pada saat kita ketemu PLN, kita tanya anda itu itung RE bagaimana. Buktinya saya di hotel 4 kali padam. Kan harusnya ada ukuran tertentu, wah itu debat mulai jam setengah 8 malam, sampai jam 12 malam," katanya.
Menurutnya, seharusnya pemerintah dan PLN membuat data RE yang berasal dari statistik BPS. Selama ini, diyakininya pemerintah hanya berhitung berdasarkan rumah yang teraliri listrik. Dengan menggunakan data BPS, maka perhitungannya akan lebih riil.
"Ternyata hitungnya berdasarkan rumah yang berlistrik, tapi asumsi dalam rumah 4 orang. Kenyataannya, ada satu rumah 2 sampai 3 keluarga. Sekarang kami minta untuk survei data dari BPS supaya lebih riil. Ditambah lagi apakah kelompok yang terlistriki mana yang mampu mana yang tidak mampu," lanjutnya.