REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi menegaskan Lembaga Sensor Film (LSF) harus tetap eksis karena untuk menyensor bagian film yang keliru. Adegan film yang harus disensor diantaranya bagian kekerasan dan pornografi.
Seto menegaskan bahwa pihaknya tidak setuju jika LSF dibubarkan. Sebabnya, LSF melindungi warga, khususnya anak-anak dari film yang tidak layak tonton. Sebab, tanpa adanya sensor, film yang mengandung pornografi atau kekerasan akan lolos menjadi tontonan publik. Padahal, tontonan dalam film itu juga telah menyimpang dari hukum dan melanggar Undang-Undang.
‘’Anak-anak bisa melihat dengan jelas adegan-adegan itu. Kalau anak-anak melihat film tanpa sensor seperti itu maka dia bisa menganggapnya wajar dan memicu perilaku agresif dalam dirinya,’’ katanya kepada Republika, di Jakarta, Jumat (28/2) malam.
Seto mengatakan demikian karena ia pernah menjadi anggota LSF dan memang banyak film yang mengandung adegan sadis seperti memenggal kepala hingga memukul, padahal film itu adalah film kartun. Tak hanya itu, film yang berisikan adegan mesum juga ditemuinya.
Untuk itu, LSF berperan untuk mengkritisi bagian yang keliru tersebut. Jika LSF benar-benar dihapus, ia khawatir anak-anak dibawah umur menjadi korbannya. Ketika disinggung tudingan pengamat perfilman bahwa LSF menghambat kreatifitas, eksplorasi, dan informasi di dunia perfilman, ia menegaskan bahwa kreativitas ada batasnya.
‘’Kreativitas jugabukan semau gue. Lagipula, dengan adanya LSF artinya negara harus hadir melalui sekelompok orang karena peduli dengan tontonan masyarakat,’’ ujarnya.
Para pemangku kepentingan (stakeholder), kata dia, berkomitmen untuk meminimalkan tontonan-tontonan film yang tidak layak. Seto juga meminta supaya masyarakat dan keluarga berperan dalam memfilter tayangan yang akan dilihat bocah tidak berdosa itu.