REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas Perempuan menolak kebijakan Presiden Joko Widodo yang berencana akan melakukan pembatasan pengiriman PRT ke Luar Negeri. Komnas Perempuan menilai hal ini sebagai langkah mundur.
Pembatasan pengiriman PRT ke Luar Negeri disebut Komnas Perempuan sebagai langkah pengebirian eksistensi perempuan pekerja rumah tangga. Sebab, harusnya para pekerja di sana diakui secara layak. Komnas Perempuan menyebut, kebijakan ini malah mengingkari hak jutaan PRT Indonesia, baik yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sebab, banyak PRT yang menjadi tulang punggung ekonomi bagi jutaan keluarga di daerah asalnya. Komnas Perempuan mencatat, 60 hingga 70 persen perempuan yang bekerja di luar negeri bekerja sebagai PRT. Sedangkan di dalam negeri sendiri, sebanyak 11 Juta perempuan menjadi PRT.
Menurut Komnas Perempuan, pengehentian penempatan PRT berarti menutup kesempatan perempuan untuk bekerja dimanapun sebagai hak atas penghidupan dan mobilitas. Penghentian ini akan berdampak besar pada jutaan perempuan dan keluarganya. Pemerintah harus mempertimbangkan PRT migran merupakan perempuan yang berani dan bertanggung jawab untuk mempertahankan keluarganya.
“Wacana penghentian penempatan PRT ke luar negeri merupakan langkah mundur upaya advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak PRT. Menghentikan penempatan PRT ke luar negeri tidak akan menyelesaikan persoalan kekerasan dan kerentanaan PRT, sebaliknya mengangkat harkat dan martabat bangsa harus dimulai dari pengakuan PRT,” kata anggota Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, Minggu (22/2).
Komnas Perempuan menambahkan, langkah penghentian pengiriman PRT malah berpeluang melahirkan persoalan baru. Diantaranya, marginalisasi perempuan berujung pada pemiskinan.