REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Penerbangan Universitas Airlangga, Adhy Riadhy Arafah menilai pendekatan sanksi yang dilakukan pemerintah dalam menangani kasus keterlambatan atau delay Lion Air kurang tepat.
Menurutnya ada baiknya penanganan keterlambatan penerbangan di Indonesia meniru Bandara Dubai. "Kalau di Dubai, antara airlines dengan bandara, mereka terkoneksi," ujarnya kepada Republika.
Ketika terjadi delay atau keterlambatan seperti kasus Lion Air di bandara Dubai, pembayaran kompensasi akan segera dilakukan oleh pihak bandara. Setelahnya, baru pihak maskapai penerbangan mengganti pembayaran tersebut kepada pihak bandara.
Sebab menurutnya pembayaran kompensasi oleh maskapai tidak bisa dilakukan dengan mudah. Di sisi lain, Bandara di Dubai melihat keterlambatan penerbangan akan menimbulkan penumpukan penumpang.
Penumpukan penumpang akan menyebabkan pelayanan tidak dapat berjalan maksimal dan membuat bandara juga tidak bisa bekerja maksimal.
Oleh karena itu, untuk meminimalisasi dampak negatif dari keterlambatan, biasanya bandara di Dubai langsung membayarkan kompensasi.
"Jika airlines tidak mau membayar kembali nilai kompensasi ke bandara, simple, bandara bisa melarang agar airlines tersebut tidak mendarat di bandara itu," katanya.
Cara penanganan semacam itu menurut Adhy cocok untuk diterapkan di Bandara Soekarno-Hatta ketika terjadi kasus keterlambatan seperti Lion Air.
Penerapan sistem tersebut di bandara sebesar Soekarno-Hatta akan meminimalisasi dampak negatif maupun kerugian yang ditimbulkan dari delay.
Sebelumnya, pada Rabu (18/2) terjadi keterlambatan puluhan jadwal penerbangan Lion Air. Keterlambatan ini terjadi hingga belasan jam dan menyebabkan ribuan calon penumpang terlantar dan marah.
Para calon penumpang tersebut dijanjikan dana kompensasi sebesar Rp 300 ribu. PT Angkasa Pura II menyatakan siap untuk menalangi pembayaran kompensasi ini.