Kamis 19 Feb 2015 15:50 WIB

Ajukan Badrodin Haiti, Jokowi Akan Hadapi Masalah Baru

Rep: C82/ Red: Julkifli Marbun
komjen Pol Badrodin Haiti
Foto: republika/Agung Supriyanto
komjen Pol Badrodin Haiti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo akhirnya mengajukan nama Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri baru untuk menggantikan Komjen Pol Budi Gunawan (BG), Rabu (18/2) kemarin.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Brawijaya Malang, Anang Sujoko mengatakan, pengajuan nama Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri baru pasti akan menjadi masalah baru. Menurutnya, masalah tersebut menyangkut persoalan etika yang berkaitan dengan utang politik Jokowi.

"Jadi, kan ceritanya Jokowi punya utang politik dengan DPR, karena merasa sudah digolkan tapi dimentahkan lagi (terkait BG), dalam tanda kutip DPR ini dipermainkan oleh Jokowi," kata Anang kepada Republika, Kamis (19/2).

Anang mengatakan, DPR pasti merasa kecewa dengan langkah yang diambil Jokowi. Secara politik, lanjutnya, hal tersebut akan menjadi persoalan yang besar di kemudian hari.

"DPR RI juga merasa kecewa dengan langkah Jokowi yang notabene yang membawa PDIP. Secara politik pasti akan menjadi masalah besar karena DPR merasa dipermainkan," ujarnya.

Selain itu, Anang menilai, ada kecenderungan telah terjadi transaksi dalam pencalonan Kapolri baru untuk menggantikan Jenderal Pol Sutarman. Transaksi inilah yang kemudian dapat menjadi permasalahan lain dalam pencalonan nama Badrodin Haiti.

"Misalnya, kita lihat Wapres Jusuf Kalla bilang 'kalau saya jadi Jokowi, saya akan melantik BG'. Ada apa itu. Saya melihatnya, jangan-jangan Wapres ini juga punya kepentingan kuat terhadap pelantikan BG, dan ada apa antara Wapres, BG dan tokoh PDIP 1," kata Anang.

Untuk mengatasi perselisihan-perselisihan tersebut, Anang mengatakan, Jokowi harus melakukan komunikasi politik tingkat tinggi. Menurutnya, presiden bersama tim kepresidenan harus melakukan lobi politik kepada para elit. Namun, lobi tersebut sebaiknya dilalukan secara tersembunyi dan bukan di 'permukaan'.

"Komunikasi politik tingkat tinggi harus dilakukan antara DPR RI dengan tim presiden itu sendiri. Kalau itu tidak dilakukan pasti terjadi perselisihan politik antara presiden dengan DPR," ujar Anang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement