Rabu 11 Feb 2015 20:29 WIB

Sistem Informasi Indonesia Masih Rawan Disadap Asing

Rep: C09/ Red: Ilham
Perang siber (Cyber War). Ilustrasi.
Foto: post.jargan.com
Perang siber (Cyber War). Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem informasi negara masih terancam pihak asing mengingat keamanan sistem itu masih sangat rendah. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap ketahanan negara dari ancaman dari dalam maupun dari luar negeri.

Pendiri Communication and Information System Security Research Centre (Cissrec), Pratama D. Persadha mengatakan, kondisi sistem informasi dan komunikasi di Indonesia sangat memprihatinkan. Menurutnya, perlu ada edukasi terus menerus untuk mengkampanyekan perihal keamanan sistem informasi dan komunikasi itu.

“Sebagai sebuah bangsa yang besar, isu-isu keamanan dan akses sistem informasi-komunikasi memang perlu mendapat perhatian lebih,” ujar Pratama, saat berkunjung ke Republika, Rabu (11/2).

Ia menjelaskan, negara mengalami kerugian sebesar ratusan triliun setiap tahunnya akibat tidak serius dalam pengamanan sistem informasi. Sudah saatnya negara sadar bahwa pengamanan informasi itu telah menjadi masalah yang serius dan sangat penting untuk dilakukan. 

“Jika kita tahu pergerakan dunia cyber saat ini, kita akan sangat takut,” kata dia.

Hal yang paling sering menjadi masalah dalam dunia cyber adalah penyadapan. Pratama menegaskan, kegiatan menyadap merupakan kegiatan yang wajar, bahkan saat Indonesia disadap oleh Australia. Hal yang membuat penyadapan menjadi tidak wajar adalah ketika penyadapan tersebut tidak terkontrol dan digunakan untuk kepentingan yang bukan kepentingan umum dan negara.

“Sering kita lupakan bahwa informasi menyangkut hajat hidup orang banyak,” jelasnya.

Ketika Presiden Jokowi memutuskan saat ini negara akan sangat bergantung pada sistem elektronik, tambah dia, negara sebenarnya sedang dalam ancaman. Negara harus sadar bahwa sistem elektronik perlu pengamanan tinggi, karena musuh akan lebih mudah menyerang Indonesia melalui sistem dari titik yang paling lemah.

Pengubahan kartu tanda penduduk (KTP) menjadi bentuk elektronik (e-KTP), merupakan salah satu contoh sistem yang mudah terganggu. Masalahnya, di dalam e-KTP ada data 180 juta rakyat Indonesia yang dapat disalahgunakan. Walapun data tersebut bukan merupakan data rahasia, namun data privasi yang perlu dilindungi.

“Jika data-data tersebut diubah, bisa mengacaukan segalanya,” ungkap Pratama.

Ia mengatakan, cara mengungkap pelaku penyerangan cyber dianggap sulit karena untuk menyerang suatu sistem informasi, pelaku akan menyewa virtual private server (VPS) di negara lain. Misalnya, orang Indonesia yang ingin menyerang Amerika Serikat, bisa menyewa VPS yang ada di India dan di Ukraina.

“Amerika Serikat akan mendeteksi serangan itu berasal dari Ukraina, bukan dari Indonesia,” kata Pratama.

Oleh karena itu, Prataman menilai, perang yang terjadi saat ini, yaitu perang cyber, sangat jauh berbeda dari perang konvensional. Dalam perang cyber, pelaku penyerangan tidak akan diketahui sepenuhnya menggunakan teknologi apa, kekuatannya sebesar apa, berapa orang yang digerakkan, dan infrastruktur apa yang dihancurkan.

“Efek perang cyber sangat jauh lebih parah dari perang konvensional,” ujarnya. Besarnya efek yang ditimbulkan dalam perang cyber ini membuat Indonesia rawan penyadapan dan penyerangan informasi. 

Menurut Pratama, Indonesia perlu memiliki lembaga pertahanan cyber. Badan cyber nasional yang didirikan 2012 dinilai tidak berjalan dengan baik akibat adanya hambatan administrasi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement