Kamis 05 Feb 2015 18:35 WIB

PPP: Islah Bukan Menduduki Kantor

Simpatisan mengibarkan bendera Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat kampanye PPP Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu (5/4). (Republika/Prayogi)
Simpatisan mengibarkan bendera Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat kampanye PPP Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu (5/4). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Qoyum Abdul Jabar menanggapi dorongan islah dari berbagai pihak. Menurut Qoyum, proses islah harus dibuktikan dengan tindakan konkret di lapangan, bukan hanya melalui pernyataan lisan. Sebab, fakta di lapangan seringkali berbeda dengan yang disampaikan secara lisan.

“Islah itu butuh upaya konkrit tidak hanya manis di lisan. Tindakan-tindakan di lapangan juga harus dilandasi semangat islah. Tidak pernah ada dalam kamus politik manapun islah ditunjukkan dengan menduduki kantor DPP, menjebol kantor DPW,” kata Qoyum dalam keterangan persnya yang diterima ROL, Kamis (5/2).

Qoyum mengungkapkan, selama ini proses islah terkendala karena pihaknya tidak bisa masuk ke Kantor DPP PPP Jalan Diponegoro, 60, Jakarta Pusat. Padahal, kantor tersebut merupakan hak pengurus yang sah. Alumnus ITB ini mengaku, Romahurmuziy sudah mengirimkan tiga utusan untuk membicarakan islah dengan Djan Faridz. “Namun memang tidak ada respons positif dari mereka,” beber Qoyum.

Dia melanjutkan, proses islah harus mengacu pada standar, baik hukum maupun agama. Dalam koridor hukum, justru kelompok SDA-Djan Faridz yang membawa persoalan ke PTUN dan PN. “Padahal, kalau mau islah tinggal bergabung saja. Yang tidak sah bergabung kepada yang sah dan yang sedikit bergabung ke yang lebih banyak,” urai Qoyum.

Sementara jika mengacu kepada standar agama, maka patokannya sudah jelas, yakni al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “taatilah Allah, taati Rasul dan pemerintah di antara kamu”. Menurut Qoyum, dalam ayat al-Qur’an tersebut sudah jelas terang benderang untuk menaati pemerintah. “Jadi sederhana saja, yang ilegal itu bergabung saja ke yang sah di mata negara,” ungkapnya.

Patokan lainnya, lanjut Qoyum, dalam kacamata Islam, seorang pemimpin itu sekurang-kurangnya harus fasih baca tulis al-Quran dan paham keislaman. Dengan demikian, tinggal dilakukan tes oleh MUI untuk menilai siapa yang lebih fasih baca al-Quran dan siapa yang lebih paham tentang keislaman. “Apakah Romahurmuziy atau Djan Faridz yang lebih fasih ayo kita ikuti. MUI bisa menjadi tim penilai,” jelasnya.

Terakhir, Qoyum mengingatkan bahwa persoalan PPP ini urusan internal. Sejauh ini, belum diperlukan campur tangan pihak-pihak luar, apalagi yang tidak memiliki sejarah dengan PPP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement