REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikkan cukai rokok setinggi 27% menunjukkan pemerintah tak kreatif menggali sumber pendapatan dari pajak. Selain itu, kenaikkan itu dianggap terlalu ambisius mengingat target cukai rokok tahun lalu yang sebesar Rp 116,28 triliun juga tidak tercapai.
Pakar ekonomi, Aviliani, mengkritisi keputusan pemerintah yang menaikkan tarif cukai untuk industri berbasis tembakau di tahun ini menjadi sebesar Rp 141,7 triliun. Menurut dia, dengan mematok target cukai rokok setinggi itu, pemerintah kurang cerdas dalam mencari celah pendapatan untuk negara. Sehingga lagi-lagi hanya cukai yang diotak-atik. Padahal, masih banyak obyek cukai yang masih bisa digali, misalnya cukai minuman keras.
"Cukai rokok dinaikkan dengan dalih paling gampang dan tidak elastis. Meski harga naik permintaan tidak turun. Itu tidak fair karena pengusaha juga butuh kepastian," tegasnya, Rabu (4/2).
Pada tahun ini pemerintah menargetkan memungut cukai rokok sebesar Rp 141,7 triliun sesuai APBN Perubahan yang telah disepakati Badan Anggaran DPR RI dengan Pemerintah beberapa hari lalu. Pada APBN 2015 target cukai rokok ditetapkan sebesar Rp 120 triliun.
Aviliani menambahkan, dengan kenaikan ini industri memastikan jumlah pabrik rokok bakal menyusut drastis. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun sudah di depan mata. Keputusan kenaikkan cukai itu dinilainya bermasalah, karena kebijakan ini tidak melibatkan industri.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran mengingatkan pemerintah soal dampak PHK atas kenaikan cukai. Pada 2014, dengan kenaikan cukai kurang dari 12%, 10 ribu pekerja pabrik rokok kretek harus kehilangan pekerjaan.