Rabu 28 Jan 2015 19:21 WIB

Saatnya Jokowi Membawa Negara Ini Menghindari Tragedi

Abdullah Sammy
Abdullah Sammy

REPUBLIKA.CO.ID, oleh : Abdullah Sammy

Di Indonesia kata tegas memang masih sebatas kata-kata. Tegas pun lebih banyak berbentuk artikulasi yang dibuat dengan nada tertentu dan disampaikan secara singkat dan jelas dalam sebuah pidato.

Ketegasan sejati tinggal secercah harapan dari rakyat yang mulai frustrasi. Sebab nyatanya di negeri ini belum ada itikad untuk tegas memisahkan batas antara benar dan salah. Padahal memisahkan benar dan salah adalah bentuk dasar sebuah ketegasan.

Batas tegas antara benar dan salah sangat penting, terutama di negeri yang sedang dalam krisis dalam penegakan hukum. Dalam surat Al Baqarah ayat 187 sudah ditegaskan bahwa kebenaran itu bersifat benar dan terang. Berbeda dengan kebatilan yang justru bersifat rapuh (Al Al-Anfal ayat 8) dan tak dapat bertahan lama (Al-Anbiya ayat 18).

Dalam ajaran agama manapun juga ditegaskan bahwa kebenaran dan kesalahan tak bisa disatukan, ibarat air dan minyak. Sehingga siapa pun yang menempatkan benar dan salah dalam posisi netral sejatinya mereka berarti berposisi untuk menghancurkan kebenaran itu sendiri.

Berangkat dari hal di atas, saya ingin mengaitkannya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Sejatinya kedua lembaga ini adalah media manusia mencari kebenaran. Walhasil, lembaga KPK dan Polri harus dijalankan secara benar oleh oknumnya. Dan Presiden selaku kepala negara harus mendorong masuknya oknum-oknum kebenaran dan menindak oknum yang bertindak salah.

Intinya, KPK dan Polri harus benar, tak ada yang boleh menyalahkan. Kalau ada yang salah, pastinya itu adalah oknum yang membajak nama institusi.

Lantas bagaimana soal perseteruan KPK versus Polri yang kini malah menyeret nama institusi keduanya?

Sebelum jauh membahas persoalan ini, saya ingin mengungkapkan curahan hati salah satu internal Polri. Beberapa hari yang lalu, saya menerima pesan dari salah satu kawan dari internal Polri itu. Dalam pesannya, tampak jelas dia marah akan semua yang terjadi saat ini. Dengan tegas dia mengatakan, "Polri kini sudah merah." Perkataan yang menandakan kekuatan politik sudah mencengkram institusi yang berdiri sejak 69 tahun lalu.

Perkataan ini didukung sejumlah fakta masa lalu. Pada Pemilu 2004, seorang kapolwil Banyumas berpangkat Komisaris Besar Polisi dicopot dari jabatannya karena terbukti melanggar perintah Kapolri tentang ketidakberpihakan pada kubu politik tertentu dalam pemilu. Kasus ini sempat menggegerkan Polri sampai mereka membuat penegasan tak ada arahan untuk menyukseskan pencapresan Megawati Soekarnoputri di Pemilu 2004.

Sang Kombes akhirnya dicopot dari jabatan Kapolwil. Adanya jenderal Polri yang menghamba pada kekuasaan kembali muncul di permukaan pada Pemilu 2014.

Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang buka suara soal adanya jenderal yang tidak netral selama pemilu. Bukannya loyal pada negara, jenderal itu disebut loyal pada partai.

Tak hanya Polri, isu adanya oknum institusi penegak hukum bermain mata dengan kekuatan politik juga menghantam KPK. Dugaan-dugaan ini justru diakui sendiri PDI Perjuangan lewat plt Sekjennya, Hasto Kristianto. Walau arah perkataan Hasto ingin menuding manuver politik Ketua KPK, Abraham Samad, namun faktanya dia malah membongkar fakta bahwa si partai merah telah "main mata" dengan aparat penegak hukum.

Ucapan Hasto secara tak sadar turut membongkar peran sentral Komjen Budi Gunawan (BG) di tim sukses Jokowi dan PDI Perjuangan. Walhasil, perkataan SBY benar adanya. Ada seorang jenderal yang jadi petugas partai!

Jika kita tegas menilai soal nilai benar dan salah, polisi petugas politik jelas hal yang salah. Di sisi lain untuk kasus Samad, pembuktian apakah dia bermain politik baru dari satu sisi.  One witness is no witness .

Peran Samad pun diakui Hasto bukan tim sukses melainkan pihak yang hendak dicalonkan sebagai wapres.

Kembali ke soal Polri, pernyataan Hasto dan kasus di Pemilu 2004, makin menegaskan bukti soal Polri yang tak lagi cokelat melainkan merah. Ini pun makin menegaskan ucapan salah satu internal Polri kepada saya beberapa waktu lalu.

Dalam posisi ini, Presiden Jokowi malah memilih menguatkan kesan itu. BG yang sudah diakui Hasto terlibat dalam tim sukses, malah dipilih jadi calon kapolri.

Tepikan dulu kasus rekening gendut, kini pertanyaannya jadi sederhana. Apakah layak institusi Polri yang punya ratusan ribu bedil dan peluru, dipimpin oleh petugas partai? Bukankah kasus di Banyumas adalah yurisprudensi bagi kasus BG? Jika Kombes dipecat karena terlibat politik, mengapa hal itu tak berlaku bagi jenderal? Jika kapolwil saja dicopot karena terlibat politik di 2004, mengapa di 2014 justru yang melanggar dicalonkan sebagai kapolri?

Jelas dalam satu aspek saja BG sudah tak memenuhi kualifikasi tentang profesionalisme Polri. Saya pun kurang paham mengapa kabar bertemunya BG plus salah satu petinggi PDIP dengan komisioner KPU tak diangkat DPR dalam mekanisme fit and propper test? Padahal dengan kasus ini saja, DPR bisa mencoretnya.

Ini pun ditambah penetapannya sebagai tersangka. Lantas apakah penetapan tersangka BG oleh KPK adalah kriminalisasi mengingat waktu penetapannya yang sehari jelang fit and propper test di DPR?

Untuk yang ini mari kita balik berpikir, apakah Istana melakukan kriminalisasi pada BG saat mencoretnya dari daftar menteri akibat stabilo merah KPK? Kasus BG sejatinya sudah muncul pada 2010. Saat itu sejumlah LSM ramai-ramai melaporkan kasus ini. Di tengah usaha pengungkapan kasus, salah satu aktivis ICW dianiaya orang tak dikenal.

Namun pada akhirnya kasus hanya berhenti pada jenderal DS yang sudah dijerat KPK. Sedangkan lewat keputusan Presiden SBY, kasus rekening gendut yang lain ditangani Bareskrim pada 2012. Penyelidikan internal Bareskrim pun menyatakan semua pengaduan rekening gendut, termasuk BG, dinyatakan bersih dari kasus korupsi.

Tapi kasus ini kembali dapat angin ketika Jokowi meminta KPK dan PPATK menyelidiki calon menterinya pada Oktober 2014. KPK jadi punya legitimasi lagi membuka kasus rekening gendut. Sebab perintah presiden SBY bahwa kasus BG cs ditangani Polri, dianulir perintah Presiden Jokowi yang minta menterinya ditelusuri, termasuk BG.

Dari penelusuran itu, KPK mengambil kesimpulan bahwa BG dalam satu tahun sejak Oktober kemungkinan besar jadi tersangka. Rekomendasi itu diterima dan dilaksanakan Jokowi dengan mencoretnya dari daftar menteri.

Tiga bulan berselang Jokowi malah kembali mencalonkan BG jadi Kapolri. Pernyataan KPK soal stabilo merah seakan diragukannya. Namun KPK membuktikan pernyataannya. Kini tinggal kita simak pembuktian benar atau salahnya BG di pengadilan.

Di sisi lain, usai penetapan tersanga itu, ada sejumlah peristiwa mengejutkan terjadi di Polri. Kabareskrim Suhardi Alius dicopot dan digantikan Irjen Budi Waseso yang dikenal dekat dengan BG.

Baru juga menjabat, Budi yang juga teman Budi ini mengeluarkan pernyataan soal pengkhianat di tubuh Polri. Entah apa maksudnya, yang jelas mutasi di tubuh Polri ini berlangsung dengan penuh misteri. Pertanyaannya, siapa yang mencopot Suhardi?

Kapolri yang masih menjabat saat Suhardi masih Kabareskrim, Sutarman, membantah dirinya melakukan pencopotan itu? Lantas siapa yang membuang Suhardi dan apa alasannya?

Faktanya pula, setelah Suhardi dicopot, Bareskrim Polri malah melakukan operasi menangkap wakil ketua KPK, Bambang Widjojanto (BW). Dia disergap saat sedang mengantarkan anaknya sekolah dan masih menggunakan sarung.

Usut punya usut, plt Kapolri mengaku tak tahu operasi ini. Operasi murni dilakukan Bareskrim pimpinan Budi yang juga teman Budi itu. Dan makin lucu lagi, kasus ini adalah perkara tahun 2010 atas dugaan mengarahkan keterangan palsu di pengadilan MK. BW pun dikenakan status sebagai tersangka.

Dari akal sehat sulit untuk mengatakan proses penangkapan BW adalah hal yang benar. Dari waktu pelaporan yang peristiwanya terjadi tahun 2010 dan baru dilaporkan 19 Januari 2015, tak pelak kasus ini jadi sebuah lelucon segar.

Lucunya lagi, hanya tempo beberapa hari, BW ditangkap bak seorang teroris. Sehari selang BW, Bareskrim pun menggarap kasus lain yang diarahkan pada wakil ketua KPK lain, yakni Adnan Pandu Praja. Dan saya pun mendapat kabar dari salah satu orang dalam Polri bahwa wakil ketua KPK lain, yakni Zulkarnain, kasusnya pun hendak digulirkan ke Bareskrim.

Sulit bagi saya untuk tidak mengatakan hal ini adalah bagian dari operasi. Operasi yang dijakankan usai mencopot Suhardi Alius.

KPK secara institusi praktis terancam. Jika dua komisionernya mundur maka praktis institusi ini mati total. Institusi yang berjalan untuk menyuarakan kebenaran terancam dibungkam.

Jika KPK mati, institusi untuk menyuarakan kebenaran tinggal diisi kejaksaan agung dan Polri. Jaksa agung seperti diketahui adalah petugas partai Nasdem. Sementara Polri, hanya dipimpin plt, sedangkan calon kapolrinya juga merupakan petugas partai.

Kini bola tinggal berada di tangan presiden. Di posisi ini, Presiden Jokowi tak boleh pada pihak yang menyatakan dirinya adalah petugas partai.

Semoga semua kisah ini bukanlah sengaja dirancang untuk mengebiri KPK. Semoga pula tak ada  grand design untuk memindahkan semua kasus yang kini sedang ditangani KPK ke satgas khusus (satgasus) korupsi bentukan Kejaksaan Agung.

Jokowi oh Jokowi...Pada akhirnya, tinggal Anda yang menilai secara tegas, mana oknum yang benar dan salah atas semua kondisi ini. Bukan justru menyamakan yang benar dan salah pada posisi netral dengan berlindung pada kata, 'tak ingin intervensi.'

Tugas presiden adalah bertindak tegas menghindari negeri ini dari tragedi. Tragedi yang terjadi karena kebenaran mengundurkan diri. Sebaliknya, kesalahan justru dipertahankan dan mendapat posisi....Nauzubillah Minzalik

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement