REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisruh KPK dan Polri dinilai menyimpan motif kekuasaan yang sangat kental. Di saat KPK bersemangat memberantas korupsi, tiba-tiba dihambat dengan kriminalisasi yang sistematis. Pimpinan KPK dilaporkan telah terlibat sejumlah persoalan hukum.
"Ini tidak berdiri sendiri. Tentu ada motif kekuasaan yang ingin diraih," jelas Direktur Emrus Corner, Dr. Emrus Sihombing, saat dihubungi, Selasa (27/1). Partai penguasa dinilainya tak terima dengan semangat KPK yang getol memberantas korupsi di tingkat elit. Mereka ingin supaya kepentingannya melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri berjalan mulus.
Emrus menjelaskan ada orang - orang penentu dibaliknya. Mereka adalah pemimpin parpol pengusung Jokowi pada pilpres kemarin. Kemudian ada individu yang kuat dan berpengaruh. Di PDIP ada ketumnya, Megawati Soekarno Putri. Di Nasdem ada Surya Paloh. Kemudian ada Jusuf Kalla, dan sejumlah figur yang dinilainya cukup menjadi sorotan dalam kasus ini. "Mereka disebut king maker," imbuh Emrus.
Mereka memang menjadi penyokong Jokowi untuk menang pada pilpres kemarin. Namun demikian, mereka tak perlu mengatur jalannya pemerintahan saat ini. "Soal Kapolri misalkan, boleh saja mengusulkan, tapi tak boleh memaksa. Biarkan presiden menentukan dengan bijak," imbuh Emrus.
Pemilihan Kapolri selama ini terlalu politis, karena melibatkan banyak pihak. Secara normatif, Kompolnas memberi penilaian. Namun secara politis, ada kekuatan politik yang dimainkan para king maker untuk menentukan nama-nama Kapolri. "Akhirnya banyak yang tersita untuk kepentingan politik ini," jelas Emrus.
Pihaknya mengimbau agar semua pihak berkepala dingin dalam menyikapi situasi yang ada. Jangan sampai kekisruhan antara Polri dengan KPK semakin diperuncing lagi. Keduanya harus bisa berdampingan agar penegakkan hukum berjalan dengan baik.