REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP), Maryati Abdullah, mengingatkan, dengan mendapatkan limpahan dana pajak tembakau, pemerintah daerah lebih fleksibel dari sisi penggunaannya.
Misal dana itu juga bisa dipakai untuk membantu petani tembakau atau industri tembakau di daerah. Tidak hanya digunakan untuk isu kesehatan alias untuk dampak eksternal dari tembakau saja. "Tidak bisa dipungkiri dari sisi industri, ada industri kelas menengah ke bawah yang juga perlu dilindungi. Cukai rokok ini kan hampir setengah dari setoran migas nasional, angkanya mencapai Rp150 triliun, sangat signifikan," ujar Maryati, saat dihubungi wartawan, Senin (26/1).
Dengan adanya kapasitas fiskal yang bertambah, tentu saja pemerintah daerah juga harus membuat sektor prioritas dari dana PDRD yang didapat. Jangan sampai anggaran yang mencapai belasan triliun itu tidak jelas peruntukannya. Pengawasan anggaran itu perlu diperketat. Sistem anggaran sekarang sudah berbasis kinerja. Tapi harus jelas indikator penggunaan anggarannya. Masyarakat harus dilibatkan secara independen terkait penggunaan anggaran PDRD.
Direktur Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, mengatakan, pemerintah hanya berpikir menambah pundi anggaran dan menafikan kepentingan petani tembakau. "Pajak sektor tembakau rokok memang sangat besar tapi sayangnya tidak pernah dikembalikan lagi untuk kepentingan tembakau," tegas dia. Ia mengingatkan, jangan sampai duit PDRD itu malah dipakai untuk perjalanan dinas pejabat dan rapat-rapat.
Pundi-pundi pendapatan pemerintah daerah terus bertambah. Mulai 1 Januari 2014 merujuk UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pemerintah provinsi punya kewenangan memungut pajak rokok sebesar 10% dari tarif cukai rokok. Pasal 27 sampai pasal 31 menyebutkan selain harus menyetorkan cukai rokok, produsen juga harus membayar pajak rokok 10% dari nilai cukainya. Masalahnya, penggunaan dana di derah.