REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sikap presiden Joko Widodo dalam menyikapi kemelut antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri cenderung normati. Direktur Jusuf Kalla School of Government (JKSG) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Nurmandi menilai, sikap Presiden menunjukkan ketidakjelasan.
Alhasil, Nurmandi mempertanyakan kesungguhan pemerintahan Jokowi-JK dalam pemberantasan korupsi ke depan. "Kami melihat kepemimpinan politik anti korupsi Joko Widodo dan Jusuf Kalla justru menunjukkan ketidakjelasan kepemimpinan anti korupsi pada masa pemerintahan saat ini," ujarnya dalam siaran pers yang diterima Republika, Sabtu (24/2).
Menurut dia, penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto tidak dapat dilepaskan dari penetapan tersangka calon Kapolri Komjen Budi Gunawan. Sehingga secara kelembagaan kasus itu lah yang menyebabkan konflik kelembagaan antara KPK dan Polri.
"Dengan konflik yang berkepanjangan dan melembaga, maka mafia koruptor memperoleh momentum untuk menghindari dan mempertahankan diri serta lepas dari kasus-kasus korupsi yang seharusnya ditegakkan oleh dua lembaga penegak hukum tersebut," katanya.
Nurmandi menyatakan, ditinjau dari ilmu pelembagaan dan organisasi nampak sekali bahwa pelembagaan anti korupsi di Indonesia belum mencapai titik yang cukup baik. Hal itu dapat ditandai dengan masih adanya kelembagaan internal Kejaksaan dan Kepolisian sebagai lembaga penegakan hukum.
Karena itulah, dalam jangka 10 sampai 15 tahun mendatang diperlukan kepemimpinan politik (leading sector) sebagai pihak yang dapat menuntun penguatan lembaga-lembaga anti korupsi. Yaitu, lembaga yang dijalankan oleh lembaga kepresidenan.