Jumat 23 Jan 2015 05:37 WIB

Oh... Ibu

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono 

Email: [email protected]

Sekarang bukan Hari Ibu, tentu semua orang tahu. Entah mengapa, tiba-tiba saja soal ibu belakangan ini menarik perhatian saya.

Hadis sahih yang selalu menjadi rujukan manakala kita membahas soal ibu, pastilah seperti apa yang diriwayatkan Bukhari-Muslim. Semua ustaz/ustazah/ulama/kiai/dai pastilah hafal hadis ini.

Dalam hadis Bukhari-Muslim itu, Abu Hurairah bercerita tentang seorang sahabat yang mendatangi Rasulullah SAW dan menanyakan perihal menghormati orang tua. Saat ditanya, kepada siapa sahabat itu harus berbakti pertama kali, Nabi Muhammad menjawab singkat: Ibumu! 

Pertanyaan kedua diulang oleh sahabat itu dan nabi memberi jawaban yang sama. Demikian pula tatkala pertanyaan diulang kali ketiga, tak ada jawaban yang berbeda. 

Barulah ketika sahabat itu mengajukan pertanyaan keempat kalinya, jawaban nabi pun berbeda: Ayahmu. Ini menandakan, bahwa ibu mendapat tempat paling istimewa dalam kehidupan keluarga. 

Betapa istimewa dan pentingnya keberadaan ibu, mungkin juga bisa dilihat dari hadis lain. Ungkapan, bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat luas. 

Memang ada pihak yang menganggap hadis tentang surga yang berada di bawah telapak kaki ibu itu palsu. Namun, ada pihak lain yang menganggap hadis tentang surga di bawah telapak kaki ibu itu sahih adanya, meski bunyinya berbeda dengan hadis yang dianggap palsu tadi. 

Surga itu di bawah telapak kaki ibu, siapa yang ia kehendaki maka akan dimasukkan dan siapa yang ia ingini maka akan dikeluarkan. Ini hadis yang dianggap palsu. 

Pada hadis lain, dikabarkan adanya seorang sahabat yang berniat melakukan jihad. Sahabat itu lalu menemui Rasulullah dan minta pendapat. 

Rasul pun bertanya, "Apakah engkau masih memunyai ibu?" Sahabat itu menjawab: Ya, masih. Rasul lalu berkata, "Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya". 

Terhadap hadis yang terakhir ini, banyak kalangan yang setuju. Bahkan beberapa pihak menganggap hadis ini sahih karena memiliki dasar yang kuat dan banyak ulama yang mendukung. 

Meski saya menyitir soal ibu ini dari agama Islam, tetapi saya yakin agama lain pun memberi tempat terhormat untuk ibu. Tak pernah saya mendapatkan cerita yang mengajarkan agar kita tak perlu berbakti dan menghormati seorang ibu. Justru sebaliknya, ajakan untuk selalu berbakti kepada ibu yang senantiasa saya terima dari para ulama maupun orang bijak lainnya.

Banyak juga yang berpendapat, ridha Allah itu tergantung pada ridha ibu. Tentang hal ini, ada cerita rakyat yang menggambarkan bagaimana mujarabnya doa seorang ibu. 

Ya, ini tentang Malin Kundang, cerita rakyat Minangkabau. Malin adalah seorang pria tak berpunya yang hidup bersama ibundanya. Setengah memaksa, saat minta izin merantau, si Malin akhirnya diperkenankan ibunya untuk mengadu nasib. 

Malin akhirnya menjadi pria kaya-raya di perantauan. Ia pun menikahi wanita dari keluarga berada. Suatu hari, sang istri berkeinginan bertemu dengan ibu mertuanya. Maka, berangkatlah mereka berdua ke kampung halaman Malin. 

Malin yang semula girang bukan kepalang bisa bertemu ibundanya, jadi berubah sikap gara-gara istrinya. Sang istri merasa malu memiliki mertua yang kumuh, papa, dekil, dan berbau. Karena sikap istri itu pula, pelukan Malin terhadap ibunya dilepas. 

Malin pun mengusir ibunya. "Enyahlah kau wanita tua. Kamu bukan ibu saya". Begitulah kira-kira ucapan Malin ketika melepaskan pelukan ibunya sembari mendorong wanita tua itu. 

Sang ibu seketika sesenggukan. Upaya si ibu yang berkali-kali mengingatkan anaknya ternyata sia-sia belaka. Dengan memohon ridha Allah sembari menangis pilu, sang ibu lalu mengutuk anak yang durhaka itu agar menjadi batu. Terwujudlah kutukan ibu Malin itu pada akhirnya. 

Itu memang hanya cerita rakyat yang kebenarannya sulit untuk dibuktikan. Tetapi, tak ada yang mengingkari betapa besar peran dan pengorbanan ibu terhadap anak dan keluarga. Itu sebabnya, merupakan sebuah keniscayaan belaka bila ada anak yang senantiasa berbakti pada ibunya. 

Para ulama Islam pun berpendapat, salah satu dosa besar yang tak bakal diampuni adalah durhaka kepada orang tua. Dengan begitu, sebagai manusia normal, rasanya hampir tak ada yang bertindak dengan sengaja untuk mencelakakan orang tua, terutama ibunya. 

Menyenangkan hati ibu dan tak membuatnya susah, akan selalu diupayakan oleh setiap anak yang berbakti. Apalagi kalau sang ibu sudah beranjak tua. Tak mungkin kita tega menolak keinginannya. Sepanjang itu bukan hal yang mustahil atau bertentangan dengan ajaran agama dan hukum. 

Anak berbakti tentu akan memenuhi segala permintaan ibu. Jangankan membuat ibu bersusah hati, berkata kasar pun tak akan dilakukan oleh anak yang baik. Kepatuhan anak pada ibunya dalam hal ini tak bisa ditawar-tawar lagi. 

Seorang anak yang baik pasti tak akan mengabaikan, bagaimana selama sembilan bulan sang ibu menjaga kesehatan anaknya dalam kandungan. Selama itu sikap dan tindakan jelek pun akan dihindari ibu. Karena ada perasaan khawatir hal itu bakal menular ke dalam diri bayi yang dikandungnya. 

Tak terhitung pula pengorbanan yang dilakukan sang ibu selama membesarkan anaknya. Hampir semuanya akan didahulukan demi kepentingan sang anak. Harapan seorang ibu pada umumnya, pastilah anaknya bisa menjadi orang baik: pintar, berguna, berakhlak mulia, terpuji, dan sejenisnya. 

Berkaca dari ini pula, mungkin menjadi satu kepuasan bagi si anak bila kelak selalu berusaha untuk membalas kebaikan tak terbatas dari sang ibu. Menuruti kehendak ibu, karenanya menjadi sikap yang harus dijalani. 

Wajar dan bahkan wajib bagi seorang anak untuk membuat sang ibu bahagia, sekalipun sang anak itu sudah menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan di suatu negeri. Itu sikap yang harus ditunjukkan si anak pada ibu yang melahirkan dan membesarkan kita, bukan ibu yang lain.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement