REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sertifikasi Halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dinilai masih memiliki celah yang rawan penyimpangan. Salah satu organisasi masyarakat Islam, yakni Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menyatakan hal tersebut.
Ketua DDII, Ustaz Syuhada Bahri menyatakan celah rawan sertifikasi halal terdiri dari beberapa hal. Seperti, terkait pembiayaan proses sertifikasi oleh pengusaha. Selain itu, juga terkait masalah kontrol rutin pada produk setelah sertifikat halalnya keluar.
Syuhada menyebutkan pembiayaan dari pengusaha membuat independensi Lembaga Penelitian dan Pengawasan Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) bisa dipertanyakan.
"Saya tak mau curiga LPPOM MUI, tetapi kita mesti meminimalisir celah penyimpangan yang ada," ujarnya Rabu (21/1).
Selain hal itu, pengawasan pada produk yang sudah bersertifikat halal belum dilakukan secara berkala. "Sekarang ini pasca-produk makanan keluar sertifikat halal sudah tidak dicek lagi oleh LPPOM MUI," ujarnya.
Dia mengandaikan bisa saja setelah dapat sertifikat halal, produsen mengubah bahan makanan jadi haram. "Saya mengusulkan ada sidak rutin yang selalu mencek produk di pasaran," saran dia.
Syuhada menyadari kendala utama bagi LPPOM MUI adalah masalah anggaran. Dirinya mengusulkan agar pemerintah menganggarkan dana sertifikasi halal melalui APBN.
"Pemerintah pasti sanggup tetapi tinggal niat atau tidaknya saja," ujar dia. Selain itu, bisa juga pemerintah mengharuskan Corporate Sosial Responsibility (CSR) dari BUMN diarahkan untuk membiayai sertifikasi halal.