Ahad 18 Jan 2015 10:39 WIB

Pengamat: Polri Jadi Sasana Bertanding

  Calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan bersama para Ketua DPR berfoto bersama saat menghadiri paripurna penetapan Calon Kapolri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (15/1). (Republika/Agung Supriyanto)
Calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan bersama para Ketua DPR berfoto bersama saat menghadiri paripurna penetapan Calon Kapolri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (15/1). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Utama the Jokowi Institute pada Jokowi Watch, Junaidi, berpendapat, Polri saat ini menjadi sasana bertanding berbagai organisasi masyarakat. Semua itu terkait dengan perombakan pimpinan kepolisian yang dilakukan Presiden Jokowi.

"Persis saat calon kapolri baru Komisaris Jenderal (Komjend) Budi Gunawan (BG) diusulkan presiden ke DPR. Akan tetapi saat yang hampir bersamaan muncul penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap BG setelah KPK selesai melakukan penyelidikan (bukan penyidikan) penerimaan gratifikasi dalam kaitan rekening gendutnya," kata Junaidi kepada wartawan, Sabtu (17/1).

Ia berkata, lalu kemana kasus gratisikasi polisi-polisi berekening gendut yang lainnya? Lantas, siapa pula yang memberikan gratifikasi itu kepada Budi Gunawan. "Bukankah cara-cara itu adalah model penyelidikan yang kerap dilakukan polisi selama ini?" ujarnya.

Menurut Junaidi, tidak ada bedanya antara mental model penyidik polisi dan penyidik KPK. Kemudian, kata dia, saat presiden mengganti Kabareskrim Mabes Polri, lagi-lagi sekelompok orang beramai-ramai memprotesnya? "Ini tentu menjadi tanda tanya besar," tutur dia.

Atas berbagai hal tersebut, timbul pertanyaan, apakah institusi polisi yang berpolitik atau individunya atau institusi itu dipolitisasi? "Soal Kapolri, biar mekanisme sesuai aturan yang telah ada yan dijalankan Jokowi. Sehingga kalaupun ada hal-hal diluar aturan baku (aturan induk) terjadi seperti penetapan tersangka oleh KPK bukan berarti aturan baku itu harus ditabrak atau ditinggalkan. Aturan induk itu yang lebih patut untuk dijalankan," papar dia.

Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Juanda, Bogor, Jawa Barat ini menjelaskan, sebenarnya, hiruk pikuk yang terjadi dalam proses pencalonan kapolri adalah politisasi terhadap institusi Polri. Atau bisa jadi diduga kuat para petinggi polisi sedang berpolitik layaknya politisi di Senayan.

"Saran kami, kepolisian, jangan mau tanpa sadar ikut-ikutan dalam turbulensi politik tersebut. Kami meminta agar presiden Jokowi, menjalankan saja aturan induk terkait penetapan Kapolri. Jangan mau terpengaruh dengan pernak-pernik di luar itu," ucapnya.

 

Ia berkata jika presiden mengambil keputusan transisi dengan menetapkan pelaksana tugas kapolri yang diemban wakapolri, itu adalah salah satu cara Jokowi untuk menegakkan aturan induk tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement