REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberian izin rute penerbangan di Indonesia hanya dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud), Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Begitu pula di Singapura. Setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda, dan tidak berhak untuk saling ikut campur.
"Singapura tidak berhak ikut campur kebijakan perhubungan Indonesia. Begitupun sebaliknya. Kami hanya memberi izin pada Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu," tutur Pelaksana Tugas Dirjen Perud, Djoko Muryatmojo, Senin (5/1).
Ia membenarkan jika Singapura memberi izin landing pada tanggal penerbangan QZ8501, dan itu haknya. Sedangkan Indonesia tidak memberikan izin rute pada waktu penerbangan tersebut. Untuk melaksanakan aktivitas terbang maskapai harus memperoleh izin dari dua negara.
"Pihak Singapura sudah mengonfirmasi bahwa mereka lupa menyebutkan dalam rilis jika pelaksanaan terbang harus mendapatkan izin dari dua negara," ungkap Djoko.
Kalaupun slot dua bandara tempat take off dan landing memungkinkan untuk operasi penerbangan, tetap saja dibutuhkan izin terbang. Jadi perusahaan maskapailah yang harus menyesuaikan diri agar penerbangannya tidak melanggar izin dari negara yang bersangkutan.
"Tidak bisa izinnya dari satu negara saja," kata Djoko.
Jika ada operasi yang tidak cocok seharusnya airline mengajukan permohonan perubahan hari operasi kepada Ditjen Hubud. Namun hingga saat ini permohonan perubahan jadwal belum diajukan. Sehingga jadwal dianggap bermasalah. Pada pelaksanaannya, hari terbang Air Asia Surabaya-Singapura adalah yang sudah ditetapkan sebelumnya.
"Ini jelas merupakan pelanggaran, dan Air Asia bersalah," tandas Djoko. Namun kemudian ia pun menyebutkan bahwa selain pelanggaran dari maskapai, petugas lapangan pun melakukan kesalahan (Bandara Juanda).
Sebab mereka menggunakan hanya menggunakan data slot dalam melakukan koordinasi penerbangan. Untuk mencegah pelanggaran seperti ini terulang kembali, Kemenhub akan melakukan pengecekan kesesuaian jadwal terbang dengan izin rute. Selain itu briefing tatap muka pun akan diwajibkan untuk mengetahui kondisi pilot.
"Briefing tatap muka harus dilakukan untuk mengetahui apakah pilot layak terbang atau tidak. misal dia sehat atau tidak," kata Djoko menutup penjelasannya.