REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 40 Tahun 2012 melarang tenaga kerja asing (TKA) untuk masuk mengajar agama apa pun di Indonesia. Dengan begitu, tidak akan ada lagi, misalnya, ustaz, dosen, maupun guru agama Islam pada institusi-institusi pendidikan di Indonesia.
Menurut Ketua Komisi VII DPR, Saleh Partaonan Daulay, regulasi tersebut tidak tepat. “Saya kira, aturan itu tidak tepat,” ujar Saleh saat dihubungi Republika di Jakarta, Ahad (4/1).
Menurut dia, alih-alih pelarangan sama sekali terhadap TKA pengajar agama, lebih baik Kemenaker mengadakan seleksi yang benar-benar ketat terhadap individu TKA yang hendak bekerja di Indonesia. Sebab, kata Saleh, tidak semua TKA berpaham radikal.
Yang terpenting dalam seleksi itu, Saleh menjelaskan, pemerintah harus mencari tahu secara rinci, apa latar belakang dan kompetensi keilmuan orang per orang TKA itu. Serta, alokasi kebutuhan TKA pengajar agama. “Sebelumnya mesti memakai kajian yang mendalam. Agar, kualitas lembaga pendidikan Indonesia yang memang masih butuh tenaga dari luar (TKA) tidak menurun,” ungkap Saleh.
Dengan kajian tersebut, kata Saleh, pemberlakuan revisi Permenaker itu tidak merusak tata pendidikan yang sudah ada pada, misalnya, pesantren-pesantren atau madrasah yang memang sering mendatangkan pengajar dari luar.
Adapun, semangat yang mendasari revisi regulasi Kemenaker tersebut ialah pencegahan persebaran paham radikalisme keagamaan dari luar ke Indonesia. Saleh menuturkan, bila demikian, maka yang disasar oleh Kemenaker semata-mata institusi pendidikan agama, bukan lembaga lain.
Saleh pun mempertanyakan alasan Kemenaker tidak ikut menyasar lembaga lain yang juga tidak luput dari memasukkan TKA ke Indonesia. Sebab, persebaran radikalisme bisa saja terjadi pada institusi lain di luar pendidikan.