Jumat 02 Jan 2015 23:15 WIB

BBM Turun, Pemilik SPBU Mengaku Rugi

Rep: Neni Ridarineni / Red: M Akbar
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -– Adanya penurunan BBM (Bahan Bakar Minyak) terutama premium per 1 Januari 2015 mengakibatkan SPBU rugi.

Kerugiannya bervariasi tergantung sisa stok setoran premium sebelum tgl 1Januari  dan harus dijual dengan harga lebih murah hanya 7600 per liter saja, sedangkan sebelumnya Rp 8500 per liter, kata  Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) DIY Siswanto pada Republika, Jum’at (2/1). 

Adanya kerugian SPBU diakui oleh Pengelola  SPBU 44555602 Wates kota Fitroh Nurwijoyo Legowo. Dia mengungkapkan saat  diberlakukan harga BBM yang diturunkan, stok premium masih 28 ton dan  solar 14 ton. Sehingga kerugian mencapai Rp 30 juta.

‘’Untuk stok yang baru sudah ada karena setiap hari kami dikirimi minimal 16 ton untuk premium,’’kata Fitroh yang juga Direktur Perumda Aneka Usaha Kulonprogo pada Republika, Jum’at (2/1). 

Di bagian lain Siswanto  mendesak agar UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas direvisi UU Migas No. 22 Tahun 2001 Bab 4 tentang usaha hilir. Karena kalau hal itu tidak direvisi terbuka sekali bagi pengusaha asing untuk masuk ke Indonesia.

‘’Kami dari asosiasi minta agar ada proteksi terhadap pengusaha lokal  dengan adanya tambahan pasal di Bab 4  tentang usaha hilir agar usaha hilir seperti SPBU, SPBE, keagenan, oli mart dan produk-produk Pertamina diserahkan kepada pengusaha lokal,’’kata dia.

Kalau tidak ada kata-kata yang menyatakan bahwa usaha hilir diserahkan kepada pengusaha lokal, maka pengusaha asing bisa metamorfosisi dalam perusahaan dan akhirnya pengusaha lokal akan kalah bersaing. Karena pengusaha lokal selalu mengikuti harga yang dipatok oleh pemerintah .

Karena itulah Hiswana DIY terus mendesak adanya revisi UU Migas No.22 Tahun 2001 untuk mengantisipasi penetrasi SPBU asing ke daerah-daerah. Karena regulasi yang ada sekarang ini masih memberikan keleluasaan pihak asing untuk menjalankan usaha migas di dalam negeri, termasuk retail migas.

‘’Carut marut dalam bisnis BBM di Indonesia bisa dimasuki pengusaha asing.  Kalau di daerah, biarkan dipegang pengusaha nasional, agar jadi tuan rumah di negerinya sendiri,’’ kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement