REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guna menutupi prediksi kekurangan beras pada 2030, pemerintah diminta untuk serius mengenai produksi beras komposit.
Wakil Ketua Komite Tetap Industri Derivatif Pertanian Kadin Indonesia sekaligus Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) H Suharyo Husen menerangkan, tepung singkong bisa diproduksi melalui pembangunan klaster singkong terpadu.
Dengan perhitungan produksi 80 ton singkong per hektare atau sekitar 25 ton tepung singkong kering, dari dua ribu klaster akan menghasilkan 15 juta ton tepung singkong atau cassava powder. "Jika 50 persennya dibuat beras komposit, akan menghasilkan 7,5 juta ton beras komposit," katanya.
Selain dapat menutupi kekurangan beras, dengan cara tersebut ia optimistis Indonesia bahkan bisa memiliki stok beras untuk enam bulan yakni 1,8 juta ton beras komposit.
Berdasarkan analisis tersebut, ia menyarankan agar pemerintah dalam menyusun sistem dan program strategis kedaulatan pangan Indonesia, perlu memasukan beras padi dan beras komposit yang terbuat dari tepung singkong dan tepung beras atau jagung.
Dari aspek global, Ketua umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krishnamurthi menyebut, perdagangan singkong di dunia tumbuh 15-16 persen pada 2015. Singkong, lanjut dia, merupakan produsen karbohidrat tertinggi per hektare.
"Perdagangan singkong yang besar dan meningkat disebabkan semakin banyaknya industri tepung yang menggunakan singkong sebagai bahan baku," kata dia.
Artinya, lanjut dia, nasi atau beras analog alias beras komposit menjadi penting dan menjadi andalan di negara lain. Bahkan bukan hanya untuk beras analog, tepung singkong pun akan diandalkan untuk pembuatan pasta, mie dan roti.
Makanya, situasi tersebut tak boleh dilewatkan Indonesia dalam memanfaatkan singkong sebagai pendukung kedaulatan pangan.