REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesawat AirAsia jurusan Surabaya-Singapura hilang kontak dengan menara pengawas lalu lintas udara pada Ahad (28/12) pagi WIB, di sekitar Tanjung Pandan, antara Belitung dan Kalimantan. Pesawat yang dikemudikan kapten pilot Irianto membawa 162 penumpang, terdiri 138 penumpang dewasa, 16 anak-anak, dan 1 bayi serta tujuh awaknya.
Airbus A320-200 ini adalah pesawat sangat canggih, memiliki kecepatan maksimal 903 km/jam. Berat kosong pesawat sekitar 42,220 kg dengan dimensi panjang 37,57m, lebar 34,09m, dan tinggi 11,76m. Kapasitas maksimal pesawat ini 179 penumpang.
Airbus A320 adalah jenis kelompok pesawat penumpang komersial jarak dekat sampai menengah yang diproduksi oleh Airbus. A320 merupakan pesawat penumpang pertama dengan sebuah sistem kendali fly by wire digital, di mana pilot mengendalikan penerbangan melalui penggunaan sinyal elektronik dan bukan secara mekanik dengan hendel dan sistem hidrolik.
Di Indonesia, maskapai yang mengoperasikan keluarga A320 adalah Indonesia AirAsia dan Citilink. Teknologi yang digunakan pesawat Airbus A320 antara lain sistem kontrol penerbangan fly by wire digital penuh dalam pesawat sipil. Kokpit digital penuh, bukan sistem hibrid seperti ditemukan di pesawat A310, Boeing 757 dan Boeing 767.
A320 juga merupakan pesawat berbadan sempit pertama yang menggunakan material komposit untuk struktur pesawat dalam jumlah signifikan. Konsep Monitoring Pesawat Elektronik Terpusat (ECAM), yang dimilikinya juga digunakan di semua pesawat Airbus yang diproduksi setelah A320.
Sistem ini secara konstan memberikan informasi mengenai mesin pesawat, bersama sistem kunci lain seperti kontrol penerbangan, tekanan dan hidrolik, kepada pilot melalui dua layar LCD di tengah panel pengendali. ECAM juga menyediakan peringatan otomatis terhadap kerusakan sistem dan memperlihatkan daftar elektronik untuk membantu mengatasi kerusakan tersebut.
Di atas kertas, dengan mengusung teknologi yang canggih dan kelengkapan peralatan pesawat ditambah pemeriksaan yang baru saja dilakukan November lalu serta dalam kondisi laik terbang yang dibuktikan dengan izin dari regulator penerbangan, pesawat AirAsia buatan tahun 2008 itu logikanya bisa mendarat dengan selamat di Singapura.
Dari sisi kapten pilot, Irianto menurut Presdir PT AirAsia Indonesia, Sunu Widiatmoko, adalah pilot berpengalaman karena telah mengantongi 20.537 jam terbang. Tetapi kenyataan berkata lain, musibah datang tanpa diundang. QZ8501 hilang dan kemudian ditemukan jatuh di lautan.
Sebelum hilang kontak, kapten pilot sempat mengontak tower di Jakarta pada pukul 06.12 untuk meminta menyimpang dari rute penerbangan karena menghindari awan dan naik ke ketinggian 38.000 feet. "Pesawat telah meminta rute yang bukan biasanya, sebelum hilang kontak," kata Staf Khusus Kementerian Perhubungan, Hadi Mustofa.
Permintaan pilot pesawat yang lepas landas pk. 05.36 WIB dari Bandara Internasional Juanda itu, untuk berbelok ke kiri telah disetujui. Namun ATC belum mengizinkan pesawat AirAsia naik ke ketinggian 38.000 feet--karena kondisi traffic dan koordinasi dengan adjacent ATS unit.
Direktur Utama Airnav Bambang Cahyono mengatakan, ada enam pesawat yang melintas di sekitar area AirAsia QZ8510 yang hilang kontak, di antaranya adalah Garuda Indonesia, Lion Air, dan Uni Emirates.
"Saat itu, AirAsia QZ8501 berada di ketinggian 32 ribu kaki dan meminta izin untuk menambah ketinggian ke 38 ribu kaki," katanya.
Namun, pada ketinggian 38 ribu kaki, ternyata ada pesawat Garuda Indonesia sehingga Air Asia tidak bisa menambah ketinggian sesuai dengan permintaan. Pesawat itu akhirnya berbelok ke kiri, kemudian hilang kontak, ujarnya.
Awan Kolumonimbus
Pukul 06.18 WIB pesawat hilang dari pantauan radar dan hilang kontak, kata Plt Dirjen Perhubungan Udara Djoko Murjatmodjo. Kemudian ATC melakukan usaha komunikasi dengan pesawat lewat prosedur pemanggilan berulang kali.
Bagi Air Asia menurut CEO-nya, Tony Fernandez, ini adalah kecelakaan yang pertama kali. Selama 13 tahun beroperasi, armada maskapai penerbangan ini telah mengangkut 220 juta penumpang, tanpa kehilangan satu orangpun.
Kumulonimbus adalah awan tebal vertikal yang menjulang sangat tinggi, padat, mirip gunung atau menara. Bagian pucuk awan ini berserabut, tampak berjalur-jalur dan hampir rata, melebar mirip bentuk landasan yang disebut anvil head. Awan ini terlibat langsung dalam badai petir dan cuaca ekstrem lainnya.
Awan ini ditakuti para penerbang, karena dapat membuat mesin dan sayap pesawat dipenuhi es. "Jika memasuki awan tersebut, pilot akan menghadapi gumpalan es yang bisa berbahaya jika masuk ke dalam buletan mesin dan sayap karena bisa menempel," kata Kapten Jhon Barata eks pilot Garuda dan Merpati.
Dia menyebutkan, untuk menghindari gumpalan es menempel di mesin dan sayap pesawat setiap pilot harus menyalakan pemicu busi yang berguna sebagai tenaga ekstra guna memanaskan sayap, jendela dan mesin agar es mencair. "Jika busi dinyalakan, biasanya tenaga mesin dikurangi dan daya tahan pesawat menurun karena pesawat mempunya maksimun speed."
Bila itu yang terjadi, katanya, pesawat akan jatuh karena kurang kecepatan untuk naik. "Bahayanya jika sudah jatuh pesawat berputar-putar ada juga pesawat yang tidak bisa menahan tekanan dan akhirnya meledak," katanya.