REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Industri galangan kapal di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Kepulauan Riau, berharap dilibatkan dalam proyek-proyek kemaritiman pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Itu yang kami nantikan dan kami tunggu," Ketua Asosiasi Perusahaan Galangan Kapal dan Lepas Pantai Batam (Batam Shipyard and Offshore Association/BSOA) Luc Verley di Batam, Selasa (30/12).
Pemerintah, katanya, sudah seharusnya mendahulukan industri dalam negeri, sebelum melemparkan proyek-proyek ke luar negeri.
Ia meyakinkan perusahaan-perusahaan galangan kapal, baik penanam modal asing maupun penanam modal dalam negeri bisa menjawab tantangan visi poros maritim Presiden.
Selama ini, perusahaan galangan kapal di Batam terbukti mampu memenuhi tuntutan pembuatan kapal yang dipesan dari berbagai negara di dunia.
Luc mengaku sampai saat ini belum ada pembicaraan dengan pemerintah pusat terkait rencana proyek-proyek maritim di seluruh Indonesia.
Sekretaris BSOA Hermanto optimis jika pemerintah pusat menggunakan jasa pembuatan kapal di Batam, maka akan dapat menghidupkan industri galangan kapal yang terus meredup.
"Kalau proyek-proyek itu bisa di Batam, industri akan baik lagi," kata dia.
Industri galangan kapal Batam mulai meredup sejak lima tahun yang lalu.
Ia mengatakan indikator turunnya pamor galangan kapal di Batam adalah berkurangnya jumlah tenaga kerja industri itu dari sekitar 250.000 orang pekerja menjadi sekitar 30.000 pekerja.
Menurut dia, pengurangan jumlah tenaga kerja menandakan penurunan jumlah proyek yang dikerjakan industri.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri Cahya mengatakan pelemahan industri galangan kapal disebabkan beberapa kebijakan pemerintah yang kurang mendukung, satu di antaranya yaitu penetapan Upah Minimum Kota.
Ia bahkan memperkirakan pesanan galangan kapal turun hingga 80 persen dari masa kejayaannya di 2006.
"Sektor galangan kapal sedang mengalami kelesuan yang luar biasa, rata-rata order anjlok hingga tinggal 20 persen," kata dia.