Sabtu 27 Dec 2014 17:33 WIB

Pengamat: Jika tak Merugikan, Kenapa Premium Dihapus?

Rep: C82/ Red: Yudha Manggala P Putra
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sofyano Zakaria mengatakan, jika tidak merugikan negara, Ron 88 (Premium) tidak harus dihapus. Hal tersebut disampaikan Sofyano dalam sebuah acara diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, hari ini, Sabtu (27/12).

"Ini bisa mengusik lembaga lain, toh selama ini BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tidak menemukan dari Ron 88 yang merugikan negara. BPK Migas juga kenapa merekomendasikan Ron 88 kalau itu merugikan negara," kata Sofyano, Sabtu (27/12).

Sofyano mengatakan, Ron 88 memang tidak ada di Asia Tenggara. Namun, bukan berarti negara lain di dunia tidak ada yang memilikinya. "Kenapa tidak dengan cara yang bijak, tidak drastis menghapus Ron 88," ujarnya.

"Pakai range aja. Kita bicara premium bersubsidi, bisa menggunakan Ron 88 sampai 92 (Pertamax), ada rangenya. Jangan dipatok Ron 92," kata Sofyano menambahkan.

Meski begitu, jika Ron 88 benar akan dihapuskan, lanjutnya, pemerintah dan seluruh pihak terkait harus mengkaji lebih dalam dan menghitung secara cermat agar tidak terjadi kekosongan supply di masyarakat.

"Selanjutnya, pemerintah harus betul-betul menghitung penggunaan fasilitas TPPI (PT Trans Pacific Petrochemical Indotama). Dan diusahakan TPPI jatuh ke Pertamina jangan ke swasta," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement