REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Kabupaten Indramayu merupakan salah satu daerah eksplorasi minyak dan gas (migas) di Indonesia. Namun, nilai dana bagi hasil eksplorasi migas yang diperoleh Kabupaten Indramayu selama ini sangat minim.
"Nilainya tak sebanding dengan dampak buruk yang (Indramayu) terima," ujar Wakil Bupati Indramayu, Supendi, saat ditemui di sela acara Workshop Pengenalan Industri Migas yang digelar PHE ONWJ di Ruang Data 1 Pemkab Indramayu, Selasa (23/12).
Supendi menyebutkan, dari 100 persen hasil eksplorasi migas di wilayah Kabupaten Indramayu, nilai dana bagi hasil yang kembali ke daerah hanya enam persen. Sedangkan sisanya diserahkan ke Pusat.
Supendi mengakui, besaran dana bagi hasil migas yang diterima daerah telah diatur dalam undang-undang. Namun, sebagai daerah yang menjadi tempat dilaksanakannya eksplorasi migas, Kabupaten Indramayu sangat merasakan dampak negatif dari kegiatan tersebut.
Supendi mencontohkan salah satu dampak negatif, adalah saat terjadi ceceran migas yang mencemari perairan Indramayu. Dia menyebutkan, masalah tersebut terjadi hampir setiap tahun di Kabupaten Indramayu.
Kondisi itu juga menyebabkan biota laut dan ikan-ikan di sekitar pinggir pantai maupun budidaya tambak menjadi mati.
Dampaknya, terang Supendi, sebanyak 38 ribu masyarakat nelayan, baik yang bergerak dalam usaha penangkapan ikan maupun tambak, menjadi dirugikan. Apalagi tidak sedikit nelayan Indramayu merupakan nelayan kecil, yang tidak bisa melaut pada jarak yang jauh.
"Kalau pantai tercemar, jelas akan mengurangi pendapatan mereka," tutur Supendi. Dia menambahkan, selama ini pihaknya sulit mengetahui sumber pencemar migas di perairan.
Kabid PBB, BBHTB dan Pendapatan Lainnya pada Dinas PPKAD Kabupaten Indramayu, Yayan Mulyana menjelaskan, dana bagi hasil migas yang diperoleh Kabupaten Indramayu pada 2014 mencapai Rp 47 miliar. Padahal, target awalnya sebesar Rp 60 miliar.
"Dari realisasi yang mencapai Rp 47 miliar itu, dana bagi hasil gasnya mencapai lebih dari 60 persen. Sisanya dari minyak," terang Yayan.