Rabu 17 Dec 2014 16:40 WIB

SSS: 2014, Tahun Arogansi Politik

Pengamat politik Sukardi Rinakit (pegang mic).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pengamat politik Sukardi Rinakit (pegang mic).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga penelitian Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menyatakan tahun 2014 merupakan tahun arogansi politik, yang diindikasikan dengan terjadinya perselisihan antara dua kekuatan politik di berbagai tingkatan.

"Tahun 2014 merupakan tahun arogansi politik. Ini diindikasikan perselisihan antara KIH yang mendukung pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla dan KMP yang mendukung capres-cawapres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Perselisihan ini episode persaingan politik lanjutan dari kontestasi Pemilihan Presiden 2014," ujar peneliti SSS Toto Sugiarto di Jakarta, Rabu (17/12).

Dia mengatakan dua kekuatan politik KIH dan KMP menyebabkan terbelahnya parlemen yang jelas merugikan rakyat, karena hanya berkutat dalam konflik. "Arogansi politik di parlemen membuat fungsi pengawasan, legislasi dan penganggaran nyaris tidak bisa berjalan," katanya.

Selain itu menurut Toto, arogansi politik juga terindikasi dari terbelahnya kepengurusan sejumlah partai politik seperti PPP dan Golkar. Di PPP dua kubu yang bersaing dari kelompok Romuharmuziy dan Djan Faridz, sementara di tubuh Golkar terjadi perebutan legitimasi antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.

Dia meminta para elite politik agar lebih mengedepankan kepentingan negara daripada kepentingan kelompok. Menurut Chairman SSS Sukardi Rinakit, selain faktor pileg dan pilpres, ada empat hal lain yang menyebabkan terjadi arogansi politik pada tahun 2014.

Pertama mengenai keberadaan konglomerasi politik, di mana bersatunya kekuatan modal dengan politik. Hal ini terlihat dari langkah ketua umum partai politik yang maju kembali atau menguasai partai.

Konglomerasi politik itu menimbulkan faktor penyebab arogansi politik yang kedua yakni patronase politik, di mana lahir seseorang yang merasa dihormati dan omongannya selalu didengar.

Faktor ketiga, karena tokoh-tokoh politik konglomerasi yang tak mau dikalahkan oleh orang-orang baru. Contohnya, kata dia, KMP tidak mau menerima Jokowi, karena merasa tidak mau kalah dari sosok Jokowi yang berasal dari kampung.

"Di sini ada ego personal politik merasa lebih pandai. Pengusaha level konglomerat, kok dikalahkan tukang kayu, tinggal di pinggir sungai dan kurus," nilai dia.

Faktor keempat, yakni politisi yang menjadi arogan karena merasa mendapatkan dukungan publik yang kuat. Sukardi memandang, arogansi politik ini akan sirna tahun depan, karena peta politik mulai berubah akibat penyelenggaraan pilkada.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement